Satu Rapat yang Mengubah Segalanya
“Yang menumbuhkan luka adalah lidah yang tak dijaga,
dan yang menyembuhkannya adalah hati yang mau merendah.”“Hidup adalah pertarungan paling sunyi, dan yang pertama harus kau kalahkan adalah dirimu sendiri.”
.
Jakarta, pukul 07.48 pagi. Lantai 17 sebuah kantor konsultan digital marketing ternama. Meja-meja kerja mulai ditempati, monitor menyala, aroma kopi instan bercampur dengan suara ketikan cepat keyboard. Di luar jendela, langit Jakarta belum selesai memilih antara biru atau abu; gedung-gedung kaca di Sudirman memantulkan wajahnya yang letih.
Yuda masuk dengan langkah berat. Jangankan menyapa satpam atau resepsionis, pandangannya pun tak menyentuh siapa-siapa. Wajahnya murung, matanya sembab. Ia langsung masuk ke ruangannya, menutup pintu, dan membiarkan dunia kantor berjalan tanpa dirinya untuk sesaat. Di meja, ada tumpukan print-out KPI kuartalan, sticky note warna kuning dengan coretan “revise ASAP!”, dan satu mug yang dibiarkan setengah penuh sejak kemarin—cicipan pahit yang tak lagi hangat.
Pukul 08.10, Slack berbunyi. Rani, asistennya, mengirim pesan pelan tapi padat:
“Mas, jam 10 ada rapat ulang dengan tim konten. Bisma ada. Umarmaya minta semua tenang.”
Yuda menatap layar. Nama-nama di chat berkumpul seperti semut yang baru menemukan gula: Bisma, Umarmaya, Jayengrana, Rengganis. Nama-nama itu seperti bayangan dari kisah lama—bukan pangeran, bukan putri, cuma pekerja kota yang kehabisan tidur.
.
Mulut yang Menjadi Bom Waktu
Hari Jumat sebelumnya, dalam rapat strategis kuartalan, Yuda meledak. Slide keempat belas baru dibuka, ruangan masih hangat oleh semangat yang kaku. Bisma—manajer konten yang tak pernah pulang tepat waktu—membacakan insight. Lalu Yuda menyela, tajam seperti silet.
“Lo pikir data kayak gini bisa bantu kita pitching? Nggak ada nyawa! Nggak ada value!”
Kata-kata itu tak sekadar terdengar. Ia menampar. Bisma yang dikenal tangguh mendadak pucat. Umarmaya—creative lead yang rambutnya selalu diikat asal—menutup laptop pelan. Rengganis, account manager yang paling pandai menenangkan klien, memeluk notebooknya seperti pelampung di tengah badai.
Rapat bubar sebelum waktunya. Slack kantor sunyi, seperti listrik padam di gang sempit. Email tak dibalas. Semua orang memilih diam. Di pantry, suara dispenser lebih lantang dari percakapan.
Sore itu, Yuda duduk sendirian di pantry. Karyawan lain sudah pulang. Ia menatap kosong ke cermin kecil di dinding—cermin murah yang retaknya halus di tepi.
“Gue cuma… pengen campaign kita berhasil,” gumamnya, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Tapi ia tahu, yang ia lakukan salah. Lidahnya terlalu tajam. Ucapannya jadi bom waktu yang perlahan menjauhkan semua orang.
“Kata-kata seperti panah,” ia teringat pepatah tua yang pernah diceritakan neneknya di Yogya, “sekali lepas, yang tertinggal hanya doa agar tak mengenai yang dicintai.”
.
Pikiran yang Tak Ada Tombol Pause
Di balik prestasi dan gelar-gelar internal yang tak pernah benar-benar ia inginkan, Yuda menyimpan perang besar dalam pikirannya. Deadline bertumpuk, revisi klien yang datang tengah malam, drama tim yang kecil-kecil tapi tak pernah usai, dan tekanan board meeting membuat tidurnya hanya dua jam tiap malam. Ia hidup dari kopi ke kopi, dari rapat ke rapat, dari janji diri esok lebih baik ke pengkhianatan diri yang sama.
Kepalanya seperti stasiun kereta Manggarai tanpa pengatur lalu lintas. Semua kereta masuk bersamaan, berebut jalur, menabrak satu sama lain. Ia mencoba meditasi lima menit di kamar mandi, tapi suara notifikasi tak henti mengetuk kesadarannya.
Dalam sesi coaching HR, ia diminta membuat peta pikiran. Tapi ia hanya menulis satu kata besar: Overthinking.
“Kamu pintar, Yud,” kata coach-nya sambil menatap lurus, “tapi kamu keras sekali pada diri sendiri. Kalau kamu sendiri tak kasih ruang tenang di kepalamu, siapa lagi?”
Yuda mengangguk, lalu pulang lebih malam dari biasanya. Pulang yang sebenarnya adalah mampir ke kursi kerja kamar apartemen, menyalakan laptop, dan kalah lagi dari tab-tab yang tak mau ditutup. Di luar, sirine ambulans melintas di bawah flyover; ia menatap jam dinding dan bertanya, jam berapa terakhir kali ia jujur pada tubuhnya.
.
Mood yang Menular seperti Virus
Pagi berikutnya, suasana hati Yuda memengaruhi timnya. Ketika ia masuk ruangan dengan ekspresi muram, semua karyawan otomatis berhati-hati. Tidak ada yang berani bercanda, tidak ada yang bertanya. Rengganis memilih mengatur napas sebelum mengetuk pintu. Umarmaya yang biasanya berceloteh tentang font dan warna, diam dan memilih duduk dekat jendela.
Rani bahkan mengurungkan niat untuk meminta approval reimburse tim desain yang tertunda tiga minggu. Ia mengetik pesan, menghapus, mengetik lagi, menghapus lagi, lalu menyimpannya sebagai draft yang tak diapa-apakan. Di ruang kerja itu, tanpa disadari, Yuda menjadi matahari. Jika ia bersinar, tim hangat. Jika ia mendung, kantor ikut gelap.
“Mas Yuda, saya izin keluar sebentar,” kata Rani lirih di ambang pintu.
Yuda hanya mengangguk. Setelah itu, ia menatap pantulan dirinya di layar laptop—menemukan sosok asing yang tampak lebih tua dari usianya. Kantung mata. Bibir kering. Kemeja yang dulu jatuh rapi kini menggantung seperti bendera setelah hujan.
.
Tata Krama yang Terkikis Ambisi
Pitching besar di hari Senin dengan klien Singapura datang seperti ujian tak jadi. Seminggu sebelumnya, mereka datang tepat waktu, presentasi elegan, sapaan hangat, tatapan mata yang penuh penghargaan. Yuda masuk lima menit telat, menaruh ponsel terbalik di meja, tapi jarinya tetap mengetik di sisi, menjawab pesan yang “penting banget”—padahal, kalau jujur, tidak lebih penting dari hormat pada orang di hadapannya.
Usai presentasi, hanya ada senyum basi. Di parkiran basement yang bau bensin dan tumpahan kopi, Jayengrana—data lead yang selalu tenang—menegurnya pelan.
“Mereka bilang kamu jago teknis, Yud, tapi… nggak punya etika kerja yang hangat.”
Yuda tertegun. Kalimat itu seperti batu kecil yang menabrak kaca lelahnya. Retaknya tidak besar, tapi menjalar.
Ia teringat masa kecil di rumah neneknya di Jogja. “Ngerti aturan, ngerti unggah-ungguh. Wong pinter kalah karo sing santun,” kata neneknya sambil membersihkan daun mangga di teras. Ia benci mengakuinya, tapi hari itu ia lebih rindu suara neneknya daripada notifikasi mana pun.
.
Uang yang Membuat Lelah Tak Berarti
Gaji Yuda dua digit. Bonusnya sering melebihi ekspektasi. Tapi pengeluarannya juga membengkak, diseret gengsi yang berjalan lebih cepat dari akal sehat. Setiap akhir bulan, ia merasa lelah dan—anehnya—kosong.
Ia membeli sepatu branded bukan karena butuh, tapi karena ingin terlihat setara dengan para senior di LinkedIn. Ia makan siang di restoran mahal agar tak dianggap biasa-biasa saja. Ia membayar membership gym 24 jam yang lampunya terlalu terang, tapi jarang datang. Lalu di tanggal dua puluh lima, rekeningnya seperti wajah bulan sabit: tipis, malu-malu menatap.
Hingga suatu sore, ia menemukan sticky note tertinggal di mejanya. Tulisan Rani, bulat-bulat, meyakinkan tapi lembut:
“Jangan kejar gaya hidup yang kamu sendiri nggak bahagia menjalaninya.”
Yuda tersenyum pahit. Kali ini ia tak menertawakan diri sendiri. Ia meletakkan sticky note itu di dompet—bukan untuk dipamerkan, tapi agar setiap kali membayar sesuatu, ia ditagih kejujuran.
.
Lima Bola Cahaya Itu
Malam itu, setelah semua orang pulang, Yuda duduk di ruang meeting kecil. Lampu neon mendengung seperti serangga malas. Di whiteboard, ia menggambar lima lingkaran:
Mouth
Mind
Mood
Manner
Money
Ia menatapnya lama. Bola-bola cahaya yang selama ini bergerak liar tanpa kompas. Dan di tengah-tengahnya, ia menulis: Me.
“Kontrol dirimu, maka kamu akan kembali punya arah,” gumamnya. Suara sendiri di ruang kosong terdengar jujur.
Ia memfoto whiteboard itu. Lalu, tanpa sadar, merasa ingin pulang lebih cepat. Ia memesan ojek daring. Di jalan, ia menatap lampu merah yang memantul di helm pengemudi. Angin malam menghapus sedikit ketegangan di pelipisnya. Di pojok warteg yang dilaluinya, dua orang tertawa karena hal remeh—tawa yang membuatnya iri. Tiba-tiba, ia rindu kata “cukup.”
.
Cahaya yang Mulai Menyebar
Perubahan tidak datang seperti hujan deras. Ia turun seperti embun. Seminggu setelah malam whiteboard, Yuda belajar menyapa lebih dulu. Ia memilih kata “tolong”, “terima kasih”, dan “maaf”—tiga kata sederhana yang dulu ia anggap tidak efisien. Ia berhenti menyela. Ia menutup laptop saat orang bicara. Ia menolak ikut rapat yang tak punya agenda jelas. Ia pulang ketika matahari belum hilang total dari kaca gedung sebelah.
Ia membuat grup kecil mentoring internal untuk anak-anak magang. Tiga orang pertama datang malu-malu: Anik, Rama, dan Saka. Mereka duduk di ruang kecil yang dulu sering dipakai untuk menyendiri. Yuda bercerita tentang dasar-dasar riset, bukan tentang kejayaan dirinya. Ia tak menyebut brand-brand besar, hanya menyebut kesalahan-kesalahan kecil yang dulu ia pelihara.
Apakah semuanya langsung berubah? Tentu tidak. Bisma masih menjaga jarak. Umarmaya masih mengukur setiap kata. Rengganis masih memilih aman di batas percakapan. Tapi cahaya itu mulai menyebar, mengikat satu per satu sudut kantor yang sebelumnya dingin.
.
Satu Rapat yang Mengubah Segalanya
Pagi itu, pukul 09.57, ruang rapat utama menunggu. Dindingnya putih, jamnya seperti mata yang tak berkedip. Di meja, ada air mineral, empat cangkir kertas, spidol hitam, dan proyektor yang sudah bunyi kipas kecilnya. Di luar, awan menutup matahari. Di dalam, semua orang menahan napas.
Yuda masuk paling akhir. Ia tidak main ponsel. Ia menatap satu-satu: Bisma, Umarmaya, Rengganis, Jayengrana.
“Gue mau buka rapat ini dengan minta maaf,” katanya, pelan, tanpa drama, tanpa slide. “Gue salah. Gue marah bukan ke kalian, tapi ke diri gue yang capek dan nggak jujur. Gue bikin kalian jalan di atas kulit telur. Gue nggak mau lagi kayak gitu.”
Hening. Waktu berjalan lambat seperti lift menuju basement.
Bisma menghela napas yang beratnya seperti tiga malam begadang. “Gue sakit hati, Yud,” katanya. “Tapi gue juga tahu lo bukan orang jahat. Lo cuma… hilang arah.”
Yuda mengangguk. “Boleh gue mulai lagi?”
“Silakan,” jawab Umarmaya.
Yuda berdiri. Ia menulis di whiteboard: Mouth, Mind, Mood, Manner, Money. Lima kata yang ia ingat dari malam sepi itu.
“Gue salah mulut, kacau pikiran, nyebarin mood buruk, lupa tata krama, dan salah kelola uang—yang akhirnya nyeret semuanya. Gue nggak mau ini jadi mantera kosong. Gue mau kita pakai ini buat kerja.”
Ia menatap Bisma. “Lo pegang Mouth. Bukan dalam arti nahan bicara, tapi gimana narasi brand ini paling manusiawi, paling jujur. Lo paling jago cerita. Lo presentasi hari ini.”
Bisma terdiam, kaget.
“Umarmaya, pegang Mind. Lo kurasi ide-ide liar jadi runut, masuk akal, nggak cuma aesthetic.”
“Rengganis,” Yuda beralih, “lo pegang Manner. Lo set struktur meeting, ritme komunikasi, kapan bilang ‘nanti’, kapan bilang ‘sekarang’, kapan bilang ‘tidak.’”
“Jayengrana,” ujarnya pada si data lead, “Money. Bukan budget doang, tapi value. Kalau ide bagus kita nggak bisa diukur, kita yang salah ukurannya.”
“Terus lo?” tanya Rengganis, menatap lurus.
Yuda menepuk dadanya. “Mood. Tugas gue bikin ruang di mana kalian bisa bernapas. Kalau gue gagal, kalian berhak cabut dari rapat ini.”
Hening sejenak berubah jadi senyum tipis. Umarmaya membuka laptop. Bisma menata catatan yang setengah basah oleh telapak tangan. Rengganis merapikan gelas air. Jam dinding seperti mendekat, tapi untuk pertama kalinya, mereka tidak dikejar—mereka memimpin.
Presentasi dimulai. Bukan dengan angka—tapi dengan cerita pendek tentang perempuan penjual risol di depan stasiun KRL, tentang cara ia menghafal selera pelanggan. Lalu angka menyusul, bukan sebagai penghakim, melainkan sahabat. Grafik muncul seperti jalan setapak, bukan tembok. Ide-ide liar Umarmaya dijahit runut, data Jayengrana menjadi ransel yang tak berat dipanggul, dan manner Rengganis membuat semua duduk egaliter, tidak ada suara yang memonopoli.
Yuda duduk, diam. Ia menahan rasa ingin menyela. Sesekali tangannya terangkat, lalu turun lagi, seperti ombak kecil yang belajar menyapa pantai tanpa merusak garisnya.
Di menit ke-47, sesuatu terjadi. Bukan tepuk tangan, bukan sorak-sorai. Hanya satu kalimat dari Bisma yang meluncur jernih:
“Kalau kita gagal, kita belajar. Kalau kita berhasil, kita bersyukur. Tapi di antara dua itu, kita tetap manusia.”
Ruangan itu, entah mengapa, menghangat. Mata Yuda berkaca. Bukan karena presentasinya sempurna, tapi karena ia menyaksikan sesuatu yang selama ini ia lupa: kehadiran. Orang-orang di hadapannya bukan mesin produksi konten. Mereka manusia yang rela menunda pulang demi ide yang belum menemukan kakinya. Mereka manusia yang pantas dipeluk oleh kalimat terima kasih.
Rapat ditutup tanpa heroik. Hanya saling pandang yang membaik. Saat semua berdiri membereskan kabel proyektor, Yuda menghampiri Bisma.
“Makasih,” katanya.
Bisma menatap sebentar, bibirnya mengerut menahan sesuatu yang bukan marah. “Lain kali jangan begini lagi, Yud.”
“Gue berusaha,” jawab Yuda.
“Berusaha aja nggak cukup,” sela Umarmaya sambil tersenyum kecil, “tapi itu start yang benar.”
Di luar ruangan, langit Jakarta akhirnya memilih biru.
.
Kabar dari Rumah Sakit
Pukul 12.15, ponsel Yuda bergetar. Pesan dari adiknya: “Ibu masuk IGD. Sesak lagi.”
Yuda menutup mata. Napasnya ditahan. Ia bukan takut, ia sedih—sedih karena banyak love language ia taruh di ujung rapat yang tak pernah selesai. Ia mengambil jaket, meminta izin pada Rengganis untuk cabut.
“Pergi,” kata Rengganis. “Jangan pikir kerjaan. Nanti sore kita kirim catatan rapat.”
Di IGD, bau antiseptik seperti hujan yang dipaksakan. Ibu berbaring dengan selang oksigen. Wajahnya tidak pucat, hanya letih, seperti seseorang yang baru selesai maraton tanpa pelatih. Yuda duduk, menggenggam tangan ibu. Di dinding, jam tidak bergerak—atau mungkin ia yang lupa cara memerhatikan waktu.
“Maaf, Bu,” bisiknya. “Anakmu sibuk jadi orang penting di kantor, tapi nggak sempat jadi anak.”
Ibu tersenyum, tipis, seperti linen yang dijemur. “Kowe ora kudu dadi penting, ndok. Sing penting, kowe apik.”
Yuda menunduk. Air matanya jatuh tanpa suara.
Di pikiran, lima lingkaran di whiteboard berpendar lagi. Mood, Mouth, Mind, Manner, Money—semuanya hampa jika ia gagal menjaga satu hal yang lebih dulu ada: rumah.
.
Malam yang Jujur
Malam itu, Yuda pulang ke apartemen dengan hati yang tak utuh tapi bersih. Ia menata sepatu yang berbaris seperti tentara yang bosan perang. Ia mengambil sticky note dari dompet, menempelkannya di cermin kamar mandi.
“Jangan kejar gaya hidup yang kamu sendiri nggak bahagia menjalaninya.”
Ia membuka laptop, menulis email singkat kepada tim:
“Terima kasih untuk rapat hari ini. Kita nggak tahu hasilnya apa, tapi gue tahu satu hal: kita berubah. Besok, boleh nggak kita mulai jam kerja dengan duduk bersama 15 menit? Bukan untuk kerja. Untuk diam.”
Rani membalas cepat: “Siap, Mas.”
Umarmaya: “Aku bawa roti.”
Bisma: (lama) “Gue bawa cerita.”
Jayengrana: “Aku bawa angka yang nggak menyeramkan.”
Rengganis: “Aku bawa jadwal yang nggak bikin sesak.”
Yuda tersenyum, pertama kali hari itu tanpa alasan yang perlu dijelaskan ke siapa pun.
.
Keesokan Paginya
Pukul 09.00, tim duduk melingkar di ruang rapat kecil, tanpa proyektor, tanpa slide. Di tengah, termos air putih, roti tawar, dan selai kacang. Mereka diam dua menit. Diam yang bukan canggung, tapi semacam salam pada diri masing-masing.
Yuda mengamati satu per satu. Bisma yang menatap jendela seperti menemukan lagu lama; Umarmaya yang memainkan tutup pulpen seperti biola; Jayengrana yang melipat kertas menjadi perahu; Rengganis yang menggulung lengan kemeja hingga siku seolah siap mengangkat sesuatu yang berat; Rani yang menatap ke lantai, mungkin menghitung butiran debu.
“Gue mau cerita,” kata Bisma akhirnya.
Ruang sunyi mempersilakan.
“Gue nggak marah sama lo, Yud,” ia menatap Yuda, “gue marah sama gue. Karena gue nggak berani bilang gue capek. Gue takut kelihatan lemah. Dan ketika lo marah, gue senang juga, karena gue punya alasan buat pergi. Tapi gue nggak pergi. Karena… gue cinta kerjaan ini.”
Kalimat itu—gue cinta kerjaan ini—merambat seperti aliran listrik yang tidak menyetrum, hanya menghangatkan. Yuda menelan ludah. Ia menahan kata-kata yang ingin keluar, karena tahu, kali ini, mulutnya harus belajar jadi pelabuhan, bukan meriam.
“Terima kasih,” katanya akhirnya. “Kalau suatu saat gue mulai lagi jadi orang yang salah, ingetin. Jangan diam. Jangan sopan pada kesalahan gue.”
“Deal,” kata Umarmaya.
“Deal,” sambung Rengganis.
“Deal,” bisik Jayengrana, seolah menandatangani perjanjian dengan udara.
Mereka tertawa. Tawa yang tak tinggi, tapi cukup membuat neon kantor berbunyi lebih pelan.
.
Jawaban dari Klien
Sore itu, email dari klien masuk. Subjeknya pendek: “We’re In.”
Mereka memenangkan pitching—bukan karena slide paling keren, melainkan karena cerita paling jujur dan struktur yang sopan pada pendengar. Budget tak fantastis, tapi cukup untuk membayar kerja yang bermartabat. Di akhir email, satu baris kecil menyentuh: “Also, we felt your team’s warmth. Keep it.”
Yuda menutup laptop pelan. Ia menengadah, menatap langit-langit kantor yang catnya sedikit mengelupas di pojok. Ia tidak bersorak. Ia tidak merayakan dengan makan malam mahal. Ia mengambil ponsel, mengetik pesan kepada adiknya menanyakan keadaan ibu. Lalu ia berjalan ke pantry, mengisi gelas dengan air putih, dan meminumnya seperti orang yang baru sampai rumah setelah perjalanan jauh.
Di meja kerja, ia menuliskan satu kalimat, menempelkannya di bawah sticky note Rani:
“Bahagia itu sederhana; yang rumit adalah membiarkannya tetap sederhana.”
.
Lima Lingkaran yang Tak Lagi Liar
Beberapa minggu berlalu. Tidak semua hari indah. Ada rapat yang kacau, ada revisi yang datang di jam tak ramah, ada mood yang kembali mendung. Tapi di tengah pasang surut itu, lima lingkaran di whiteboard tidak lagi liar.
Mouth menerjemah jadi komunikasi yang jernih, presentasi yang tidak menggurui, candaan yang tidak merendahkan.
Mind menjadi fokus: satu pekerjaan selesai, baru yang lain.
Mood jadi disiplin: tidur cukup bukan kemewahan, melainkan tanggung jawab.
Manner memulihkan ritme: menyapa satpam, menatap mata resepsionis, mengucap terima kasih pada office boy yang mengganti galon air.
Money kembali ke perannya: alat, bukan kompas hidup.
Suatu sore, ketika matahari Jakarta menipis di kaca-kaca gedung, Yuda mematikan laptop tepat pukul enam. Di lift, ia berdiri di samping seorang office boy yang membawa kantong sampah besar.
“Capek, Mas?” tanya Yuda, tulus.
Orang itu tersenyum. “Capek, Mas. Tapi ya seneng, pulang.”
Yuda mengangguk. “Saya juga.”
Di lobi, ia berhenti sebentar, menoleh ke belakang. Di lantai 17, ada orang-orang yang kini ia panggil “rumah” juga: Bisma yang menjaga nyawa cerita, Umarmaya yang menjaga akal waras ide, Jayengrana yang menjaga kaki data tetap menapak, Rengganis yang menjaga hati komunikasi, Rani yang menjaga semuanya tetap berjalan. Mereka bukan pangeran, bukan putri. Mereka manusia kota yang mencoba tak kehilangan diri di antara lampu-lampu.
Di luar, deru jalan raya seperti samudra yang tak pernah tidur. Yuda memasukkan ponsel ke saku, menatap langit yang perlahan ungu. Ia tidak tahu esok akan seperti apa. Tapi ia tahu, ada satu rapat yang mengubah segalanya—bukan karena kemenangan, melainkan karena ia akhirnya kalah pada dirinya sendiri, lalu berdamai.
Dan itu, untuk pertama kalinya, terasa seperti pulang.
.
.
.
Jember, 30 Juli 2025
.
.
#CerpenKota #KantorJakarta #DigitalAgency #EmotionalLeadership #Storytelling #BudayaKerja #MentalHealthAtWork #UnggahUngguh #KalahkanEgo #Harubiru
.
Quotes yang Relate dengan Cerpen:
-
“Yang menumbuhkan luka adalah lidah yang tak dijaga, dan yang menyembuhkannya adalah hati yang mau merendah.”
-
“Bahagia itu sederhana; yang rumit adalah membiarkannya tetap sederhana.”
-
“Ketika kita belajar kalah pada ego sendiri, hidup akhirnya mau diajak bicara.”
-
“Unggah-ungguh adalah seni membuat orang lain merasa dihormati—dan membuat diri sendiri tetap manusia.”