Tumbal Pola

“Maaf itu obat, tapi pola buruk adalah penyakit. Obat tanpa perubahan hanya menunda rasa sakit.”

.

Malam seperti menahan napas di atas Jakarta—lampu-lampu gedung berkedip seperti mata yang menyimpan rahasia. Dari balkon apartemen tinggi di kawasan Sudirman, Nawang Rengganis menatap hujan merajut garis-garis miring di kaca. Di bawah, lalu lintas tak pernah benar-benar berhenti; hanya berganti ritme, seperti nyeri yang kadang samar, kadang mencolok. Di belakangnya, ruang keluarga tampak rapi: rak buku berderet dengan punggung tebal—memoar-memoar manajer investasi, novel-novel hadiah pertemanan, dan buku parenting yang dibeli dalam masa euforia menjadi orang tua muda—semuanya seolah menyatakan: inilah hidup kelas menengah ke atas yang tertib, terencana, terukur.

Hanya satu yang gagal mereka ukur: pola.

Kusuma Wirapati, suaminya, sedang mandi. Tadi ia pulang terlalu malam, terlalu harum, terlalu rapih untuk seseorang yang mengaku “lepas rapat mendadak”. Nawang mendorong jendela sedikit, membiarkan udara lembap menerobos masuk, membawa aroma aspal basah, kopi dari kafe bawah, juga bunyi samar seorang pengamen yang menyanyikan lagu cinta di bawah flyover.

Teleponnya bergetar: satu pesan dari nomor tak dikenal.
“Maaf, Mbak. Saya tidak tahu harus bicara ke siapa. Mas Kusuma bilang kami hanya ‘salah tempat dan salah waktu’. Tapi saya hamil.”

Nawang membaca tiga kali. Ia memutar punggung ke dalam rumah, dan tatapannya bertumbukan dengan foto keluarga di dinding: mereka bertiga di pantai, tahun lalu. Kusuma menggendong putra mereka, Arya, yang tertawa memeluk udara. Di bawah foto, ada kutipan yang pernah mereka pilih saat memesan bingkai: “Family is where the heart learns its first song.” Kini, bait itu terdengar seperti paduan suara yang salah nada; alih-alih membesarkan hati, ia memekakkan.

Nawang mengetik balasan pelan, jari-jarinya seperti menulis di atas air:
“Siapa namamu? Tenang. Kamu sedang berhadapan dengan perempuan yang capek berlari, jadi kita akan bicara pelan-pelan.”

Perempuan di seberang memperkenalkan diri sebagai Rengganis—menyebut dirinya Nisa untuk lebih singkat. Ia staf junior pada sebuah agensi pemasaran digital—rekanan perusahaan teknologi tempat Kusuma menjadi direktur kemitraan. Kisahnya tidak berbelit: awalnya rapat larut, tumpang tindih antara target dan rasa kagum; lalu pesan-pesan yang menyeberang jam; lalu makan malam yang “sekadar apresiasi”; lalu hotel yang menyamar sebagai “pelarian dari tumpukan kerja”. Nisa tidak meminta uang, tidak meminta nama baik, ia hanya bingung dan takut.

Pintu kamar mandi terbuka. Kusuma muncul, bertelanjang kaki, rambutnya basah, aroma citrus menempel di udara. “Hujan ya? Jalanan kacau,” katanya ringan, seperti penanda yang selalu dipakai orang-orang yang menghindari pembicaraan sebenarnya.

“Iya,” jawab Nawang datar. “Ada yang kacau di sini juga.”

Kusuma menatapnya, lalu menatap telepon di tangan Nawang, lalu sofa, lalu karpet. Matanya mengembun, bukan oleh hujan, tapi oleh keterkejutan lawas yang pernah terjadi—bertahun-tahun lalu ketika Nawang memergokinya berbalas pesan mesra dengan rekan kerja lain. Dulu mereka menyebutnya “khilaf”. Mereka menyusunnya menjadi pelajaran. Mereka menempelkannya menjadi janji baru.

Rupanya pola hanya menunggu untuk dipanggil ulang.

.

Keesokan paginya, kota kembali ke rutinitas. Arya berangkat sekolah dengan sopir. Asisten rumah tangga menyiapkan sarapan; roti panggang, telur, salad. Di televisi, berita menampilkan grafik ekonomi dan janji-janji pembangunan transportasi yang “sebentar lagi rampung”. Jakarta selalu pandai menyederhanakan kompleksitas dengan kata “sebentar lagi”.

Di meja makan, Kusuma merapatkan kemeja biru muda. “Aku salah,” katanya tanpa pengantar. “Aku akan bertanggung jawab. Aku akan bicarakan ini dengan Nisa dan—”

“Dan apa?” potong Nawang. “Dan kamu akan menyusun lagi jembatan kayu di atas sungai yang kamu bakar sendiri?”

Kusuma menahan napas. “Nawang, kita punya anak. Kita punya segalanya untuk diperjuangkan.”

“Kita punya segalanya,” sahut Nawang, “kecuali kebaruan dalam dirimu.”

Kusuma menutup mata. “Aku akan… aku akan putuskan semua komunikasi. Aku akan terapi. Kita akan terapi. Aku mohon berikan aku kesempatan.”

“Kamu selalu meminta kesempatan,” ujar Nawang. “Dan aku selalu memberikannya. Bukan karena kamu layak, tapi karena aku takut menjadi jahat di mata diriku sendiri.”

Ia bangkit, menyingkirkan piring. Di kepala Nawang, berputar fragmen-fragmen yang tampak filmis: pesta amal di hotel bintang lima, pidato Kusuma tentang etika bisnis, foto keluarga di feed Instagram yang rapi, ucapan ulang tahun yang selalu menandai ‘best husband-father-partner in crime’. Semua itu kini seperti set panggung; satu tarikan layar, kosong.

Kusuma mencoba mendekat, menyentuh punggung tangan Nawang. “Maaf,” katanya, kata yang sudah terlalu sering berkeliaran di apartemen ini, mengilap, manis, memabukkan, lalu lenyap.

Nawang menatap jendela, hujan yang kembali turun. “Kamu tahu apa bedanya maaf yang menyembuhkan dan maaf yang memabukkan?” tanyanya pelan. “Yang satu diikuti perubahan, yang lain ditetesi pengulangan.”

.

Pada malam lain, Nawang menyetir sendirian menyusuri Jalan Gatot Subroto. Ia mematikan musik, membiarkan bunyi wiper memotong hujan sebagai satu-satunya metronom. Di loteng paling atas kepalanya—tempat ia menyembunyikan ingatan yang tidak sempat dirapikan—muncul wajah Srengenge, ibunya, perempuan yang pernah mengajarinya untuk berdiri tegak tanpa perlu membungkuk di depan badai.

“Orang bisa minta maaf seribu kali, Nduk,” suara ibunya kembali, seperti gema dari dapur rumah masa kecilnya di Malang. “Tapi kalau lakunya tetap, itu bukan khilaf. Itu karakter. Kalau kamu mengampuni demi damai, bagus. Tapi kalau kamu bertahan demi takut, itu tumbal.”

Tumbal. Kata itu menghantam halus seperti debu; tidak menyakitkan, tapi menempel di semua permukaan.

Di bundaran Semanggi, lampu merah menahan arus. Di pedestrian, sepasang anak muda berlari menyeberang. Nawang teringat dirinya sepuluh tahun lalu: lulus S2 branding dari kampus yang namanya dibanggakan di rapat keluarga; magang di Singapura; balik ke Jakarta sebagai co-founder studio konsultan strategi; gincu merah yang percaya diri; ritme yang riang. Ia juga teringat malam pertama Arya lahir, napas bayi mengajarinya definisi takut yang baru: takut kehilangan. Sejak itulah, ia sering memaafkan lebih dari yang semestinya—karena ada yang mesti dijaga, karena status memaksa mereka tampak rukun, karena di lingkungan pertemanan, rumah tangga yang “terbebas dari drama” adalah lencana kehormatan.

Ponselnya bergetar lagi. Nisa:
“Mbak, saya siap bertanggung jawab untuk diri saya. Saya tidak akan menuntut apa pun. Mas Kusuma bilang beliau akan membantu biaya. Tapi saya… saya tahu ini salah. Saya mohon maaf sekali membuat Mbak sakit.”

Nawang membaca pelan. Ia menghela napas panjang. Di tempat-tempat seperti ini—di bawah hujan, di atas jalan layang—kalimat bisa menjadi jembatan atau jurang.

“Jangan minta maaf untuk kejujuran,” balasnya. “Yang harus minta maaf adalah pola.”

.

Pola, kata Nawang pada dirinya sendiri, bukan makhluk gaib yang datang tanpa undangan. Pola adalah jalan setapak yang dipijak berulang kali sampai menjadi rute tercepat. Dan rute tercepat, seperti kita tahu, sering bukan rute terbaik.

Ia memutuskan berhenti menjadi penunjuk jalan bagi kebiasaan buruk suaminya.

Besok pagi, ia membuat daftar. Sederhana, tapi tegas:

  1. Menghubungi konselor keluarga—kali ini untuknya sendiri, bukan untuk “kita”.

  2. Mengatur jadwal mediasi hukum, menyiapkan kemungkinan berpisah tanpa perang.

  3. Menghubungi bank untuk memastikan portofolio investasi: rumah di Bintaro yang disewakan, saham-saham biru langit, rencana pendidikan Arya.

  4. Menyusun penjelasan untuk Arya—jujur yang ringan, tanpa menyalahkan.

  5. Menulis e-mail pengunduran diri sementara dari dua board nirlaba yang selama ini menelan energi tanpa ampun.

Ia menamai daftar itu: “Merawat Waras”. Di bawahnya, ia menulis satu kalimat: “Aku tidak berutang rangkuman alasan kepada siapa pun untuk pilihan yang menyelamatkan jiwa.”

Ketika Kusuma pulang malam itu, ia mendapati apartemen yang sama, tetapi tidak lagi sama: bantal-bantal tidak lagi ditegakkan untuk menyambut, tetapi untuk menandai batas. Di meja makan ada tiga amplop. Satu untuk konseling, satu untuk mediasi, satu untuk rencana keuangan. Kusuma membaca cepat, wajahnya memucat.

“Jadi ini keputusanmu?” suaranya serak.

“Ini keputusan untuk berhenti menjadi tumbal,” jawab Nawang.

Kusuma menarik kursi, duduk, memegang kepala. “Aku… aku tidak menyangka akan sampai sini.”

“Kamu menyangka,” ucap Nawang, lembut namun tajam, “tapi kamu menunda.”

Mereka berbicara lama. Tidak ada teriak. Tidak ada piring pecah. Ada statistik hubungan yang pernah mereka baca; ada definisi selingkuh yang meluas sejak gawai memotong jarak; ada nama-nama pertemanan yang akan berubah kubunya setelah ini. Mereka menautkan semua, seperti menyusun peta perang, sambil sesekali menarik napas karena luka lama yang ternyata belum kering.

Pada akhirnya, mereka sepakat: jalan ini harus diambil agar Arya belajar bahwa meminta maaf itu mulia, tapi menutup mata terhadap pola yang sama bukanlah kebijaksanaan.

.

Kabar berpisah menyebar pelan di grup-grup pertemanan. Ada yang mengirim stiker peluk, ada yang menilai dalam diam, ada pula yang menyisipkan hikmah dengan suara pelan namun telunjuk panjang. Di sebuah pesta amal, Nawang datang sendirian, gaun hitam sederhana, rambut disanggul rapi. Orang-orang menyapa dengan bahasa yang berputar: “Semoga kuat ya,” “Semoga ini yang terbaik,” “Laki-laki memang…”—kalimat-kalimat yang menunjukkan simpati, sekaligus—tak sengaja—menyederhanakan kompleksitas.

Di sudut balkon, Nawang bertemu Jayengrana, sahabat lamanya, kini pemilik jaringan kafe yang mencampur kopi dengan sastra. “Kamu terlihat… lebih sunyi,” katanya, memilih kata sehalus mungkin.

“Sunyi bukan sepi,” jawab Nawang. “Sunyi itu ruang.”

Mereka tertawa kecil. Lalu Jayengrana menyodorkan undangan: menjadi kurator serial kelas “Cerita yang Menyembuhkan” di salah satu kafe, bekerja sama dengan komunitas psikologi. Nawang menatap undangan itu cukup lama. Di benaknya, ia melihat perempuan-perempuan yang pernah duduk di seberang konselingnya: Kelaswara yang terus memaafkan, Maringgi yang menabung diam, Nursiwan yang menghilang dari percakapan demi mempertahankan rumah di brosur. Nama-nama itu mungkin tidak pernah tercatat di laporan perusahaan, namun merekalah statistik yang sesungguhnya.

“Baik,” kata Nawang. “Mari kita bikin ruang yang menghapus malu, bukan menghapus marah.”

.

Pada kelas perdana, dua puluh kursi melingkar di kafe Senopati. Hujan baru saja reda, aroma biji kopi dan kertas basah menyatu. Nawang membuka pertemuan dengan sebuah pertanyaan: “Siapa di sini yang pernah memaafkan sesuatu yang seharusnya dipelajari?” Tangan-tangan terangkat—ragu-ragu, lalu mantap.

Kelaswara berbicara duluan. Ia adalah eksekutif PR di perusahaan beauty tech. “Aku selalu bilang pada diri sendiri: aku memaafkan karena aku besar hati. Tapi belakangan aku tahu, aku memaafkan karena aku takut tidak menjadi ‘perempuan baik-baik’.”

Seorang perempuan berkacamata—Rengganis yang meminta dipanggil Nisa—mengisahkan kejatuhannya, lalu keputusannya melanjutkan kehamilan. “Aku sadar aku salah. Tapi aku tidak mau menukar satu kesalahan dengan kesalahan lain,” katanya, suaranya bergetar lalu kokoh. Nawang menatapnya dengan matanya sendiri—tanpa label, tanpa posisi. Dada mereka saling mengenali: ketakutan yang sama, kebutuhan akan disuapi validasi yang sama, dan akhirnya, keputusan yang merawat diri.

Lalu Maringgi menceritakan ritusnya: setiap kali diperlakukan buruk, ia menulis surat pada dirinya dua tahun ke depan. “Halo kau yang lebih waras, maaf—aku lagi ikut pola. Tolong tarik aku keluar.” Surat-surat itu disimpan dalam laci, dibuka saat ia nyaris lupa.

Nawang menutup kelas dengan menyodorkan sebuah kalimat yang ia temukan di kepala—yang mungkin tercampur dari doa-doa ibunya dan buku-buku teori perilaku: “Memaafkan itu memutus dendam. Mengingat itu memutus ketidaktahuan. Membuat batasan itu memutus pola.”

Kelas bubar. Orang-orang menepuk punggung. Jayengrana mengedipkan mata, menunjukkan papan kecil di dekat kasir: “Setiap Jumat, kopi untuk yang sedang berjuang—bayar semampunya.” Di luar, lampu-lampu Senopati memantul di aspal yang masih basah.

.

Di rumah, Arya bertanya pada ibunya. “Bu, kenapa Ayah sekarang tinggal di tempat lain?”

Nawang duduk sejajar, memegang dua mobil-mobilan—satu merah, satu biru. “Kadang dua mobil harus menempuh jalan yang berbeda supaya tidak saling tabrak,” katanya. “Kalau nanti jalan mereka bertemu lagi dan aman, bagus. Kalau tidak, berarti memang mereka punya rute masing-masing.”

“Ayah jahat?” tanya Arya.

Nawang menggeleng. “Ayah salah. Dan orang yang salah bisa belajar. Tugas Ibu memastikan kita tetap aman saat Ayah belajar.”

“Kalau gitu kita tunggu Ayah belajar?”

“Kita lanjut hidup,” jawab Nawang. “Sambil mendoakan Ayah. Itu lebih pas.”

Arya mengangguk, meletakkan mobil-mobilan. “Aku boleh minta hujan-hujanan di balkon?”

“Boleh. Tapi pakai mantel.”

Mereka tertawa. Hujan menjadi permainan. Malam itu, tidak ada musik sedih. Hanya bunyi air menumbuk pagar, dan tawa kecil yang kembali berani keluar.

.

Waktu bergerak seperti kereta yang selalu menepati jadwalnya sendiri. Mediasi berjalan—tanpa drama televisi. Pernikahan selesai—tanpa headline gosip. Keuangan dibagi—tanpa selimut dendam. Di sebuah pengadilan agama di Jakarta Selatan, hakim mengetukkan palu seperti tanda cut pada sebuah adegan panjang. “Semoga baik-baik ya, Bu,” kata petugas di loket, suara yang manusiawi justru muncul dari mulut yang paling jarang kita perhitungkan.

Kusuma menepuk bahu Nawang di parkiran. “Terima kasih,” katanya, “karena kamu tidak mempermalukan aku di dunia yang gemar menonton.”

Nawang tersenyum tipis. “Terima kasih,” balasnya, “karena akhirnya kamu tidak mempermalukan dirimu lagi.”

Mereka pulang ke arah yang berbeda. Di kaca spion, kota tetap menyala. Tidak ada yang berubah di luar. Perubahan memilih tinggal di dalam.

.

Setahun kemudian, di pameran kecil bertajuk “Rute Pulang” di sebuah ruang seni di Kemang, Nawang memajang seri fotografi yang ia tangkap dengan kamera analog: pintu-pintu apartemen tanpa penghuni; kursi-kursi kafe setelah tutup; tangga darurat di gedung perkantoran yang sunyi; jendela-jendela mobil yang berembun di lampu merah. Setiap foto diberi judul seperti puisi: “Batas adalah Bahasa Cinta”, “Pulang Tidak Selalu Alamat”, “Yang Diulang Bukan Selalu Yang Kita Mau”.

Di pembukaan pameran, Nisa datang dengan bayi mungil dalam gendongan. “Namanya Retna,” katanya malu-malu.

“Cantik,” puji Nawang. Ia menyentuh pipi bayi itu, rasanya seperti menyentuh halaman kosong yang siap ditulisi riwayat yang lebih arif. “Jaga dirimu, ya.”

“Aku belajar itu dari Mbak,” kata Nisa.

Kusuma tidak datang, tapi ia mengirim karangan bunga sederhana: Selamat untuk pameran. Terima kasih untuk pelajaran. —Kusuma. Nawang memandang bunga itu sejenak. Tidak lagi perih. Hanya ada pengakuan: hidup tak menunggu kita rapi. Kita yang merapikan saat hidup menumpahkan lembaran-lembaran.

Jayengrana berdiri di samping Nawang, memperhatikan pengunjung memotret karya, mengangkat gelas, bercakap. “Kamu bahagia?” tanyanya pelan.

“Aku waras,” jawab Nawang. “Dan waras itu keajaiban kecil yang bisa diulang tanpa menjadi pola buruk.”

Malam kembali memantulkan cahaya di jalan Kemang. Jakarta seperti mengajak berdamai: tetap bising, tapi tidak lagi bising di kepala. Di dinding terakhir pameran, Nawang memasang sebaris kalimat, seperti sabda kecil yang ia titipkan untuk siapa pun yang pernah terjebak dalam lingkaran yang sama:

“Memaafkan itu mulia. Tapi menutup mata terhadap pola yang menyakitkan bukanlah kebijaksanaan. Berhentilah menjadi tumbal—dan temukan pulang.”

.

.

.

Jember, 22 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguVibes #KisahUrban #KelasMenengahKeAtas #Jakarta #PolaHubungan #BatasanSehat #KesehatanMental #MenakMadura #LiterasiEmosional

Leave a Reply