Pelita dalam Hening

“Kita tak selalu butuh jawaban. Terkadang, kita hanya butuh tempat aman untuk menyimpan pertanyaan.”
“Mendengarkan adalah bahasa kasih yang paling senyap, namun paling lama diingat.”

“Mendengarkan itu lebih dari sekadar membiarkan suara masuk ke telinga; itu adalah pelukan tanpa tangan bagi jiwa yang ingin dimengerti.”

.

Jakarta, dinihari yang menua pelan. Lampu-lampu gedung di SCBD padam satu per satu seperti lilin ulang tahun yang ditiup diam-diam. Hujan baru saja reda; trotoar Kuningan berkilau seperti kaca yang memantulkan langit pekat. Di halte di depan gedung perkantoran, seorang pemuda memindahkan buku-buku dari tas kanvas ke rak lipat yang sudah lecet di sudut-sudutnya. Namanya Wiryawan. Orang-orang memanggilnya Wira—pendek, ramah, seperti senyumnya.

Ia tidak menjual buku baru. Sampulnya lusuh, halaman-halamannya menguning, beberapa ada coretan pensil yang hanya mau tampak pada cahaya tertentu. Tapi orang mengingat Wira bukan karena buku-bukunya. Melainkan karena cara ia diam ketika orang lain mulai bercerita. Diamnya bukan dinding; diamnya adalah telaga.

Siang hari Wira menyeberangi kota dengan MRT—Bundaran HI, Dukuh Atas, Blok M—menaiki tangga yang ramai, melewati dinding-dinding reklame yang berkilap, menatap wajah-wajah yang sibuk mengejar sesuatu. Sore dia menepi di Gondangdia, atau Senayan, atau Cipete, tergantung ke mana gerimis mendorongnya. Malam ia sering duduk di taman Menteng, memandangi lampu-lampu apartemen yang seperti bintang yang menunduk rendah.

Dari kursi kayu itulah kisah-kisah datang, satu demi satu, seperti surat-surat yang tak pernah diantar pos.

.

Dulu, ketika usianya baru 14, ibunya pergi seperti air yang meresap ke tanah—tanpa jejak alamat, tanpa nota pamit. Ayahnya mengurung diri di bengkel kecil dekat Rawamangun, merapikan baut-baut mesin yang tak perlu dirapikan hanya karena tidak tahan terhadap sunyi. Pulang sekolah, Wira berbicara kepada bayangannya di kaca jendela, berlatih menjahit kata-kata agar tidak tumpah berantakan. “Aku hanya ingin didengar, bukan dihakimi,” katanya pelan, seolah kalimat itu sedang belajar berjalan.

Di sekolah ia tak menonjol. Di rumah ia tak cukup penting untuk dipanggil dengan nada yang lembut. Pada malam-malam tertentu, ia menulis surat untuk ibunya—surat yang tak pernah ia kirim. Diam-diam ia selipkan di buku-buku yang kelak ia jual. “Ibu, hari ini aku paham: yang paling menyakitkan bukan ditinggal, melainkan tak ada tempat untuk meletakkan rindu.”

Wira tumbuh dari sunyi yang panjang, namun anehnya, sunyi itu tidak mengeras menjadi dinding. Sunyi itu jadi wadah. Ia mengerti: ada orang yang tidak butuh saran, hanya butuh tempat untuk meletakkan beban sejenak. Seperti menaruh koper di lantai stasiun, menarik napas, lalu kuat lagi melangkah.

.

Suatu sore, hujan turun tiba-tiba. Jalan Rasuna Said berubah menjadi cermin raksasa. Di halte Transjakarta, seorang perempuan duduk memeluk lutut. Rambutnya basah, bibirnya menggigil, tetapi matanya kering, seolah setiap air mata yang pernah ada telah habis dipakai untuk bertahan. “Buku apa yang Mas bawa?” suaranya flat, tak ramah tak pula memohon.

Wira menyodorkan satu buku: Tentang Orang-Orang yang Tak Pernah Didengar. Perempuan itu menatap sampul lusuhnya, lalu tertawa lirih—tawa yang tidak benar-benar tawa. “Aku Raras,” katanya akhirnya. “Boleh aku bercerita sebelum membaca?”

Wira mengangguk. Ia merapatkan jas hujan plastiknya, memutar rak lipat supaya buku-buku tidak basah. Raras bercerita seperti orang yang akhirnya menemukan pintu setelah lama berdiri di koridor gelap: tentang ibunya yang keras seperti dinding marmer di rumah Pondok Indah—indah dilihat, dingin disentuh. Tentang ayahnya yang selalu hadir dengan jam tangan mahal, tapi tak pernah hadir dengan waktu. Tentang pertunangannya dengan Panji, lelaki yang ramah di depan keluarga, namun membuatnya kecil di dalam ruang-ruang privat: “Kamu kebanyakan merasa.”

Raras menyukai seni rupa, tetapi ia sedang dipaksa menyukai neraca. Di meja makan keluarga, semua keputusan terasa seperti rapat direksi. “Aku hidup seperti catatan kaki di buku yang judulnya bukan tulisanku,” ucapnya, menatap bulir-bulir hujan yang menetes dari atap halte. “Aku capek menjadi versi yang orang lain bisa banggakan.”

Wira tidak memotong. Ia hanya memastikan jarak di antara mereka cukup aman untuk kata-kata berhenti gemetar. “Kau capek menjadi etalase,” Wira akhirnya berkata pelan, “padahal ingin menjadi ruang tamu.”

Raras menoleh, menatap Wira sejenak—tatapan seseorang yang kaget karena kalimatnya diringkas orang lain dengan tepat. “Kenapa kau mengerti?”

“Karena aku pernah tidak dimengerti.”

.

Sejak malam itu, Raras menjadi pelanggan paling setia Wira—meski jarang membeli buku. Mereka bertemu di kafe-kafe Senopati, di bangku taman Menteng, di pojok-peron Stasiun Sudirman. Raras membawa kisah, Wira menyediakan telinga. Pelan-pelan, Raras belajar memungut dirinya sendiri. Ia membatalkan pesta pertunangan—tidak dramatis, hanya sebuah pesan singkat yang jujur: “Aku ingin hidup sebagai diriku.”

Ibunya marah. Ayahnya kecewa. Panji menyumpahi dengan kata-kata manis yang berubah jadi pisau ketika tidak lagi diperlukan untuk menjaga wajah keluarga. “Kau akan menyesal,” katanya. Raras menutup telepon dengan tangan gemetar. Di layar kafe, hujan turun di berita malam. Di depan Raras, Wira hanya berkata, “Keberanian tidak membuat takut hilang. Keberanian membuat langkah lebih kuat daripada takut.”

Di kota ini, keputusan seorang anak perempuan untuk memilih dirinya sendiri lebih sering dibaca sebagai pemberontakan ketimbang penyelamatan. Tapi Raras teguh. Ia menyewa co-working di Kemang, membuka studio kecil untuk kelas-kelas menggambar, mengundang anak-anak dari panti asuhan di Pejaten dan anak para pekerja kebersihan dari Cikini. Ia menamai studionya “Ruang Ragil”—mengadopsi nama dari kisah Menak Madura yang pernah ia temukan di salah satu buku Wira, tentang Ragil Kuning yang tidak lelah mencintai meski selalu diujikan jarak dan waktu. “Ragil itu ingatanku untuk tidak angkuh,” katanya. “Kuning adalah harapanku untuk terus hangat.”

Di studio itu, setiap Sabtu, Wira duduk di pojok dekat dispenser. Ia tidak mengajar menggambar. Ia hanya duduk, mendengar orang tua-orang tua yang menyimpan banyak gagal. Mereka datang dari apartemen-apartemen di Sudirman, dari rumah-rumah bertaman di Bintaro sektor 9, dari cluster BSD yang rapih dengan jasa kebersihan berlangganan. Mereka tampak baik-baik saja—sepatu bersih, jam tangan baik, gigi rapi. Tetapi ketika mereka bercerita, rapi itu runtuh pelan seperti kue lapis yang dipotong terlalu tipis.

“Aku Klana,” kata seorang lelaki berkemeja putih suatu siang. “Aku pendiri startup teknologi yang baru saja merumahkan 120 orang.” Suaranya parau. Di Instagram, Klana tampak gagah: foto di panggung TEDx, rapat dengan investor, minum kopi di balkon apartemen di Pakubuwono. Tetapi di ruang itu, ia mengaku tidak lagi bisa tidur. “Aku tidak tahu bagaimana cara meminta maaf pada wajah-wajah yang percaya padaku,” katanya. Wira menatapnya seperti menatap peta, mencari jalan pulang: “Kau tidak bisa memperbaiki semua, tapi kau bisa memperlakukan luka orang lain dengan hormat.”

“Bagaimana caranya?”

“Dengan berhenti mengukur penyesalan pakai presentasi.”

Klana terdiam lama, lalu menunduk. “Terima kasih.”

Di lain hari, datang Sari, seorang dokter gigi dari Tebet yang baru bercerai. “Kami tampak bahagia di foto. Di rumah, kami seperti dua orang yang menunggu lift di lantai berbeda,” katanya getir. “Aku ingin dimintai pendapat, bukan sekadar diminta wajah.” Wira menahan napas sejenak, seperti seseorang yang hendak menyalakan lilin kecil di ruangan yang terlalu terang. “Tidak semua yang bersinar itu hangat,” katanya pelan.

Merekalah para penghuni kelas menengah ke atas, yang rumahnya besar tetapi ruang bicaranya sempit. Mereka menghormati tata cara, tetapi kehilangan tatap muka. Mereka paham etika makan, tetapi lupa cara mengunyah sedih. Kepada Wira, mereka menaruh yang sejak lama tidak punya tempat. Di kota yang benar-benar sibuk, mendengarkan adalah kemewahan yang tidak dijual di mall.

.

Siapa yang mendengar Wira?

Ia menyimpan ayahnya dalam kabar-kabar singkat: demam naik turun, batuk yang tak kunjung tuntas, bengkel yang makin sepi. Wira pulang kadang-kadang, menyuapi, mengganti gelas, menulis lagi surat untuk ibunya yang entah di kota mana. “Bu, di kota ini aku belajar menjadi telinga. Aku meminjamkan sunyiku untuk orang lain. Aku harap, suatu hari, seseorang juga meminjamkan telinganya untukku.”

Suatu malam, Wira pingsan di pojok studio “Ruang Ragil”. Bukan adegan dramatis; tubuhnya hanya lupa bagaimana caranya menjadi kuat. Raras menemaninya ke IGD. Lampu-lampu neon putih, bau antiseptik, nada-nada mesin. Diagnosa: kelelahan, lambung radang, anemia. “Tubuhmu menyimpan terlalu banyak yang tidak kau ucapkan,” kata perawat, entah bercanda atau tidak.

Raras ingin marah pada Wira: mengapa menjemput beban orang lain tanpa menaruh sebagian untuk dirinya? Tapi ketika Wira membuka mata, ia hanya bisa menggenggam tangannya dan berbisik, “Istirahatlah. Dunia akan baik-baik saja sebentar tanpamu.”

Wira tersenyum, seperti biasa. “Dunia akan baik-baik kalau kau menyalakan satu lilin lagi.”

“Lilin apa?”

“Lilin yang tak butuh listrik, hanya butuh hati.”

.

Tiga minggu kemudian, Jakarta seolah lebih terang. Mungkin karena kemarau akhirnya datang; mungkin karena sesuatu yang lebih halus dari cuaca. Di atrium mal Senayan City, di bawah instalasi seni yang selalu berganti tema, berdirilah sebuah bilik sederhana dengan dinding kain warna gading dan papan kecil bertuliskan: “Ruang Mendengar: 10 menit tanpa nasihat, tanpa interupsi, tanpa biaya. Hanya telinga—dan hati.”

Gagasan itu Raras. Ia meminta izin pada manajemen mal dengan proposal yang rapi dan satu kalimat di sampulnya: “Di kota yang riuh, mari beri tempat bagi hening yang menyelamatkan.” Manajemen mengiyakan—mungkin karena menyukai kata “menyelamatkan”, mungkin karena ingin mencoba sesuatu yang tidak dijual di tenant lain. Raras mengajak teman-temannya: Sari, Klana, juga Panji yang diam-diam datang suatu malam, meminta maaf tanpa gengsi. “Aku belajar mendengar dari jauh,” katanya kikuk. Raras mengangguk. Tidak semua yang patah mesti dibuang; beberapa cukup diletakkan.

Bilik itu pindah-pindah: dari mal ke kampus, dari kampus ke lobi apartemen, dari lobi ke halaman rumah ibadah. Jadwalnya diunggah di Instagram, orang-orang mendaftar. Ada yang datang hanya untuk diam bersama, ada yang bercerita sambil menatap lantai. Ada yang tertawa di awal, menangis di tengah, lalu lega di akhir. Kadang mereka meninggalkan catatan kecil: “Terima kasih sudah tidak menjelaskan sedihku.”

Wira belum kembali. Ia menghilang seperti air yang memilih jalan bawah tanah. Kosnya di Cikini rapi. Rak buku lipatnya disandarkan di dinding, tas kanvasnya tergantung seperti peta kusut. Di atas meja, Raras menemukan secarik kertas: “Jika suatu hari aku pergi, ingatlah bahwa aku pernah menjadi telinga bagi luka-luka kalian. Jadilah telinga pula bagi yang lain. Karena kadang, orang hanya butuh didengar agar tetap kuat menjalani hidup.”

Raras menahan air mata yang segera memecah. Ia mendatangi bengkel kecil di Rawamangun; ayah Wira mengangguk pelan. “Ia menitip salam,” katanya, “katanya ia ingin menempuh perjalanan yang tidak ditulis, agar bisa menulisnya kelak dengan jujur.” Raras mencoba menebak: mungkin Wira menjemput ibunya; mungkin ia menuju kota-kota kecil yang menunggu cerita; mungkin ia hanya memungut dirinya sampai utuh.

Malam itu, Raras pulang naik ojek online. Jakarta meluncur di kiri-kanannya: jembatan penyeberangan yang baru, mural di tembok pinggiran sungai, pedagang kaki lima yang tak pernah menyerah. Di lampu merah, ia menatap wajahnya di kaca spion motor. Wajah yang dulu menjadi etalase, kini menjadi ruang tamu. “Terima kasih, Wira,” gumamnya, “kau menyalakan lilin di tempat yang tidak pernah kupikir butuh cahaya.”

.

Suatu Minggu pagi, “Ruang Mendengar” mangkal di halaman sebuah gereja tua di Menteng. Jam sembilan lewat, seorang perempuan paruh baya duduk di kursi lipat di dalam bilik. Tangannya mengelus tas kulitnya, mulutnya ragu, matanya memegang sesuatu yang hendak ia letakkan. “Namaku Sekar,” katanya. “Anakku pergi meninggalkan rumah. Katanya aku terlalu banyak bicara dan terlalu sedikit mendengar.” Ia tertawa kecil—tawa orang yang baru tahu cara menangis. “Aku kira menjelaskan adalah bentuk cinta.”

Raras menarik napas, menahan kalimat-kalimat yang biasanya dipakai untuk membenarkan dunia. “Bagaimana rasanya hari ini, Bu?” tanyanya pelan.

“Seperti rumah besar yang lampunya semua menyala, tetapi tak ada yang pulang.”

Raras ingin menyentuh tangan Sekar, tapi ia ingat: bilik ini tidak untuk menyentuh, melainkan untuk menjaga jarak yang aman bagi kata-kata. “Aku bisa duduk di sini, Bu,” katanya, “selama Ibu butuh tempat untuk meletakkan suara Ibu.”

Sekar menatapnya lama, lalu berkata, “Terima kasih sudah tidak berusaha membuatku lebih wajar.”

Di luar bilik, anak-anak tertawa mengejar gelembung sabun. Matahari memantul di kaca-kaca gedung. Jakarta terasa sebagai kota yang baru saja mengingat sesuatu yang penting.


Waktu berlalu. Kabar tentang Wira tipis seperti kabut: dilihat, diraba, tak pernah benar-benar digenggam. Ada yang bilang ia terlihat di Stasiun Tugu, menatap kereta malam. Ada yang bilang ia membuka kios buku di Makassar, lalu menutupnya untuk mengajar anak-anak membaca di pulau kecil. Ada yang bilang ia berjalan ke timur mencari alamat yang tidak pernah tertulis.

Raras menyimpan bilik-bilik kain itu seperti orang menyimpan altar kecil. Ia belajar bahwa mendengarkan tidak membuatnya suci; mendengarkan membuatnya cukup manusia. Ia berdoa dengan caranya: memastikan setiap orang yang duduk di bilik keluar dengan beban yang terasa lebih ringan bukan karena selesai, tetapi karena diakui.

Di buku tamu, seseorang menulis: “Aku Klana. Hari ini aku belajar meminta maaf tanpa slide.” Di bawahnya, tulisan lain: “Aku Sari. Aku ingin diminta pendapat, tapi sekarang aku juga belajar bertanya.” Dan di halaman terakhir, sebuah kalimat yang ditulis dengan huruf miring yang Raras hafal: “Aku Panji. Aku kembali belajar dari jauh: mencintai tidak selalu berarti memiliki suara terakhir.”

Malam yang sama, Raras berdiri di balkon apartemennya di Kuningan. Lampu-lampu kota menyala seperti doa yang dikabulkan dengan cara yang rumit. Angin membawa aroma hujan yang tertunda. Ia mengirim pesan suara—bukan pada siapa-siapa, pada dirinya sendiri: “Terima kasih karena berani memilih hidup sebagai dirimu, meski itu berarti menutup pintu yang megah untuk membuka jendela kecil yang jujur.” Di bawah, kota masih sibuk, tetapi di dadanya ada ruang lengang yang temaram: tempat lilin kecil menyala.

Ia teringat dua kalimat yang dulu ia tuliskan besar-besar di dinding studio “Ruang Ragil”:

“Kita tumbuh bukan saat orang lain mengerti kita, melainkan saat kita berani mengerti diri sendiri.”
“Mendengarkan adalah cara paling sederhana untuk mengatakan: ‘Aku tidak akan pergi.’”

Dan di sudut matanya, kilau air yang tak lagi ia sembunyikan. Ia tahu, di mana pun Wira berada, ia akan tersenyum. Lilin-lilin kecil itu menyala, satu demi satu, di kota yang sering lupa cara menyapa. Pelita-pelita dalam hening.

.

Beberapa bulan kemudian, festival literasi kota mengundang “Ruang Mendengar” sebagai program pendukung. Tenda putih berdiri di depan Perpustakaan Jakarta, dekat Taman Ismail Marzuki. Antrian pendek rapi. Di meja registrasi, Raras mengecek nametag relawan: Ragil, Klana, Sari, Panji—nama-nama yang terasa seperti kisah lama yang belajar berjalan dalam hidup baru, nama-nama yang pernah ia dengar dari kisah Menak Madura—disederhanakan, ditarik ke kota, dimandikan neon. Di panggung kecil, seorang pembawa acara bertanya, “Apa harapanmu untuk kota ini?”

Raras menatap mikrofon, lalu mengangkat wajahnya. “Semoga kita saling mendengar sebelum saling menilai,” katanya. “Semoga kita memberi ruang untuk kalimat yang belum rapi. Semoga kita tidak mengukur luka orang lain dengan penggaris kita sendiri.”

Tepuk tangan pelan, bukan riuh. Tepuk tangan yang mirip dengan cara orang mengucap amin.

Di ujung acara, seorang pemuda kurus berdiri jauh di belakang kerumunan. Topinya menutupi mata. Ketika Raras menoleh ke arah itulah, pemuda itu mengangkat tas kanvas yang dikenalnya dengan segera—tas yang dulu selalu kebesaran di bahu Wira. Mereka bertukar tatap—pendek, cukup, seperti surat yang akhirnya sampai.

Ia tidak mendekat. Ia hanya meletakkan rak buku lipat di pinggir tenda, mengangguk tipis, lalu hanyut lagi di arus manusia Cikini. Raras mengejar, tapi kerumunan menutup. Ia berhenti, tersenyum, menatap rak itu. Di rak, ada satu buku baru, sampulnya putih polos. Judulnya ditulis dengan tangan: Pelita dalam Hening. Di halaman pertama, catatan yang membuat matanya basah dengan cara yang hangat: “Kota ini tidak pernah tidur, tapi ia selalu bisa bermimpi. Jaga mimpinya.”

Malam turun lebih lambat hari itu. Lampu-lampu kota menyala seperti barisan lilin yang tidak saling memamerkan tinggi api. Raras memeluk buku itu di dada. Ia tahu, beberapa pertemuan memang ditakdirkan hanya untuk memastikan bahwa kita pernah menjadi manusia yang saling mendengar—dan itu cukup.

Karena mendengarkan, pada akhirnya, adalah perayaan paling jujur dari kata kita.

.

.

Jember, 17 Juli 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#PelitaDalamHening #RuangMendengar #CerpenJakarta #Empati #Mendengarkan #KisahUrban #KompasMingguVibes #NamakuBrandkuStyle

.

Quotes dari naskah ini

  • “Keberanian tidak membuat takut hilang; keberanian membuat langkah lebih kuat daripada takut.”

  • “Tidak semua yang bersinar itu hangat.”

  • “Kita tidak mengukur luka orang lain dengan penggaris kita sendiri.”

  • “Terima kasih sudah tidak menjelaskan sedihku.”

Leave a Reply