Nyala yang Tak Padam di Negeri Orang
“Doa dari hati yang hancur, terdengar lebih nyaring di langit daripada teriakan kemenangan.”
Hujan di Jakarta kerap jatuh tanpa aba-aba, seperti alarm di ponsel yang tak sengaja disetel. Dari jendela kaca apartemen lantai 35 di kawasan SCBD, lampu-lampu kota tampak seperti kalung mutiara yang kusut. Di ruang tengah, Jayeng duduk di kursi ergonomis yang baru seminggu lalu dibelinya atas nama produktivitas. Di meja, ada dua ponsel, satu laptop, segelas kopi hitam single origin, dan amplop berisi hasil check-up kesehatan ayahnya yang diserahkan suster semalam. Angkanya jelas, diagnosisnya jernih, prognosisnya antara doa dan disiplin.
Namanya di KTP: Jayengrana Satriya. Rekan-rekan memanggilnya “Jayeng” karena dunia korporat selalu bergegas, bahkan untuk menyebut nama. Di perusahaan hospitality yang ia pimpin cabangnya, ia dikenal sebagai GM yang tenang, berdarah dingin saat rapat performance review, sekaligus hangat—terutama pada karyawan F&B yang lemburnya sering tak nampak di Excel.
Namun hidup pribadi—ah, bagian itu seperti lobi hotel setelah gala dinner: sisa balon, serpihan confetti, parfum yang tertinggal di udara, kursi-kursi yang tak sempurna kembali ke posisi semula.
Pagi itu, pesan suara berdenting:
“Mas Jayeng, ini Maya. Aku di bawah, bawa bubur. Kamu makan dulu sebelum ke bandara.”
Maya adalah panggilan sehari-hari Umarmaya—PR consultant yang selalu punya cermin lipat, selotip, dan kata-kata penyelamat. Kenal di proyek peluncuran outlet kopi hotel dua tahun lalu, hubungan mereka bukan pacaran, bukan keluarga, bukan teman kerja biasa: semacam jaring tak terlihat yang menahan jatuhnya satu sama lain.
“Naik saja,” jawab Jayeng. Ia merapikan amplop hasil medis ayahnya ke dalam map kulit. Di map itu, ia juga menyimpan satu foto lawas: seorang perempuan berambut sebahu menatap kamera dengan mata yang bertahan tepat sebelum hujan. Namanya Kelaswara. Pernah menjadi rumah, pernah menjadi alasan pulang. Kini menjadi kata benda yang dirawat dengan sunyi.
.
Negeri Orang
“Negeri orang” dalam kehidupan Jayeng bukanlah negara asing semata. Ia sering ke Singapura untuk rapat, ke Bali untuk inspeksi properti, ke Surabaya untuk hospitality forum. Tapi negeri orang yang paling asing justru adalah halaman rumahnya sendiri: realitas yang tak sempat ia jangkau karena ia sibuk menjadi orang baik di tempat kerja—menggantikan jam pulang karyawan saat harus memadamkan komplain, menutup lubang SOP, menahan amarah pelanggan VIP yang kehilangan kunci mobil.
Penerbangan ke Surabaya siang itu nyaris penuh. Di seat 8A, Jayeng membuka gawai. Ada DM panjang dari akun tak dikenal yang menyebut diri “Santosa_JKT”—menyertakan rekomendasi seorang mutual friend dari Semarang. Intinya: bantuannya dibutuhkan. Ada koleksi busana dari Jakarta tertahan di gudang ekspedisi di Denpasar. Ada biaya asuransi yang belum lunas. Ada deadline show di sebuah hotel bintang lima. Narasinya terangkai rapi, diselingi foto invoice, cap, dan stempel yang tampak meyakinkan.
Jayeng menarik napas. Dunia hospitality telah membuatnya terlatih membaca wajah; namun dunia digital menuntutnya membaca tanda. Ia menutup DM itu. Menunggu. Menjeda. Ia ingat pelajaran paling keras dari masa lalu: tidak semua bebek yang hanyut perlu diselamatkan. Kadang-kadang, itu bukan bebek. Kadang-kadang, airnya tak pernah ada.
Pramugari menawarkan minuman. Jakarta mengecil di bawah sayap. Di ponselnya, pesan baru muncul dari Maya: “Jangan jadi pahlawan di cerita orang yang kita tak tahu genre-nya.”
Jayeng tersenyum. “Aye, aye, Captain.”
.
Lawu di Mata Induk Semang
Di Surabaya, hotel tempat konferensi berada di koridor bisnis yang selalu wangi kopi dan kebaya modern. Panel diskusi tentang masa depan hospitality sesak oleh jargon: personalisasi, hyperlocal storytelling, zero waste banquet. Jayeng bicara tentang service choreography—bahwa pelayanan prima bukan soal senyum 32 gigi, tapi soal ritme: siapa yang masuk panggung kapan, siapa yang menyapu gelas saat musik pelan, siapa yang melambat saat tamu ingin tinggal lebih lama. Tepuk tangan mengukuhkan yang sudah lama ia percaya: kerumitan bisa terdengar sederhana jika disampaikan oleh orang yang mengerjakannya.
Sore itu, di jeda sesi, seorang perempuan mendekat dengan gaun linen yang jatuh. “Mas Jayeng, masih ingat Salatiga? Kita pernah satu bus ke Lawu untuk program CSR bacaan anak.”
Jayeng menoleh. “Kelaswara?” Nama itu keluar seperti nada lama yang masih pas di kunci C. Kelaswara menertawakannya ringan, lalu menatap sekeliling—seolah proyek kenangan tidak boleh bocor ke ruang publik.
Mereka mengopi di pojok lounge, membicarakan apa saja yang luput: orang tua yang menua, proyek yang menolak mati, luka yang rupanya tidak membutuhkan panggung agar bisa berdetak. Kelaswara kini tinggal antara Jakarta dan Sumenep, mengerjakan program inkubasi UMKM batik pesisir. Ia menyebut “Jokotole”—bukan hanya sebagai pahlawan, tapi nama perahu program yang membawakan kelas ke kampung-kampung: pricing, foto produk, menulis caption yang tidak murahan.
“Kamu masih menulis?” tanya Kelaswara.
“Dalam catatan telepon,” jawab Jayeng. “Kalimat-kalimat yang tak sempat jadi artikel. Seperti para tamu yang datang sebentar lalu check-out sebelum sarapan.”
Kelaswara mengangguk. “Kadang kita memang lebih pandai menyiapkan sarapan untuk orang lain.”
Senyum. Hening. Ada pertanyaan yang tak diajukan: Apa kabarmu, sungguh-sungguh? Dan ada jawaban yang tak diucapkan: Aku baik sebagai sistem; sebagai manusia, aku bocor.
Sebelum berpisah, Kelaswara menyerahkan kartu nama. Di bagian belakang, ada tulisan tangan: “Kalau suatu hari kamu ke Sumenep, carilah beringin di dekat pelabuhan Kalianget. Di bawahnya, cerita suka menunggu.”
.
Maya dan Peta Pulang
Di taksi menuju bandara, pesan Maya datang: “Besok kamu ke Bali. Aku ikut. Ada hal yang harus kita akhiri baik-baik.” Kalimat itu seperti bab baru yang tidak sabar menunggu editor. Jayeng mengangguk—ada hal-hal yang musti dirapikan, meski rapih itu tidak berarti kembali.
Malamnya, di apartemen, Jayeng menyalakan lampu temaram, membuka map ayahnya. Angka-angka kolesterol, tekanan darah. Lalu foto-foto lama: ibunya menggulung adonan kue kering saat lebaran, ayahnya menatap karpet masjid saat jeda tarawih, adik perempuannya menertawakan sesuatu yang kini tak diingat. Ia menulis:
“Anak-anak di kota besar belajar menulis to-do list, tapi lupa menulis peta pulang.”
Pukul dua dini hari, notifikasi kembali berdenting. “Santosa_JKT” mengirim pesan yang lebih panjang, lengkap dengan suara tercekat, menyinggung ibunya yang diusir dari kontrakan. Jayeng menutup ponsel, mandi air hangat, dan tidur dengan kalimat Maya berputar dalam kepala: akhiri baik-baik.
.
Seminyak, Ruang Putih, dan Benang Kecil
Bali menyambut dengan awan rendah. Di lobi hotel—salah satu properti yang dibina oleh jaringan Jayeng—sebuah instalasi seni dari benang-benang putih membentuk simpul-simpul seperti peta udara. “Kita semua simpul,” celetuk Maya, “dan kita terlalu sering berpikir jadi bandara.” Jayeng tertawa. Mereka berjalan inspeksi: housekeeping, suhu ruang, inventory, guest journey dari pintu masuk hingga rooftop.
Di rooftop, angin menabrak pelan. Maya berdiri di pinggir kaca, rambutnya menari. “Aku akan pindah ke Yogyakarta,” katanya, tanpa prolog. “Ibuku sendiri. Adikku kerja di tambak garam di Sumenep. Aku bosan tukar jam tidur dengan rapat orang.”
“Kamu kejar apa?” tanya Jayeng.
“Bukan kejar,” jawab Maya. “Menjaga. Aku capek dikejar.”
Mereka duduk. Jayeng menatap laut yang birunya kadang berubah arsir karena cloud shadow. “Terima kasih sudah lama sekali menahan jatuhku.”
“Jatuhmu tidak berat,” kata Maya. “Yang berat adalah kau menyangka harus berdiri untuk semua orang. Bahkan saat kau boleh duduk.”
Jayeng ingin memeluk kalimat itu, seperti memeluk dinding saat gempa kecil: mengukur, bukan menolak.
.
Jaring yang Benar
Malam itu, di lounge, seorang lelaki menghampiri. Wajahnya ramah, kemejanya linen, pergelangan tangannya—jam yang tak mau direndahkan. Ia memperkenalkan diri: “Santosa.” Nama yang sama. Cerita yang sama. Latar yang serupa. Ia menyebut-sebut mutual friend dari Semarang, menyodorkan invoice, menyebut gudang ekspedisi. Tapi kali ini, Jayeng punya jaring yang benar. Jaring yang ringan, kuat: keraguan yang sehat.
“Mas Santosa,” kata Jayeng, “bagaimana kalau kita hubungi bersama-sama pihak ekspedisi sekarang?” Ia mengangkat telepon, menekan nomor yang tertera di invoice. Nada sambung panjang. Saat terhubung, petugas di seberang menyebut tidak ada nomor paket itu. Santosa tertawa gugup, mengatakan mungkin salah gudang, menyebut nama lain, alamat lain. Jayeng mengajukan pertanyaan keempat, kelima, keenam—pertanyaan kecil yang biasanya tidak dicatat dalam buku panduan, namun selalu menyelamatkan diri dari pitam.
Akhirnya, Santosa menghilang. Bar lounge menelan bayangnya. Maya memandang Jayeng—dan kali ini ada bangga yang terang-terangan. “Tidak semua bebek hanyut itu bebek,” gumam Maya. “Dan kita tidak lagi air yang siap ikut arus.”
Jayeng mencatat di ponsel:
“Kebaikan butuh pagar. Empati butuh bukti. Dan menolong butuh dua mata: satu untuk orang lain, satu untuk diri sendiri.”
.
Beringin di Kalianget
Undangan datang dari Kelaswara: workshop UMKM di Sumenep. Jayeng mengambil cuti dua hari. Mereka bertemu di pelabuhan. Beringin benar-benar ada; akarnya memeluk tanah seperti kakek yang tak mau pindah rumah meski anak cucunya sibuk di kota. Di bawahnya, Kelaswara menggelar tikar, kedai kopi kecil di belakang mereka menggiling biji pelan-pelan. Udara asin. Tenda-tenda kecil. Perempuan-perempuan yang membawa kain bermotif laut dan garam.
“Ini Jokotole,” kata Kelaswara menunjuk perahu cat biru di kejauhan. “Nama program. Mengangkut keterampilan, mengantar percaya diri.”
Jayeng membuka sesi tentang customer experience dan storyselling: bagaimana foto produk diambil di dekat jendela agar cahaya tidak marah, bagaimana menulis caption yang bukan hanya menggoda dompet tapi juga menghormati kerja tangan. Ia menunjuk seorang remaja laki-laki yang ingin jadi barista. “Kopi yang enak bukan hanya karena bijinya benar. Tapi juga karena cerita di sekelilingnya tidak bohong.”
Sore, saat langit menguning, seorang anak kecil menyodorkan botol air dan berkata, “Terima kasih, Kak.” Itu saja cukup sebagai perayaan kecil dalam hari yang panjang.
Di pangkal senja, saat peserta pulang satu-satu, Jayeng dan Kelaswara duduk di undakan beton memandang laut. “Untuk apa kamu kembali ke sini?” tanya Kelaswara.
“Aku ingin meminjam kembali mataku yang pernah jernih,” jawab Jayeng. “Sebelum kota mengajari cara mengaburkan.”
Kelaswara terdiam. “Dulu aku marah,” katanya pelan, “kepadamu, kepada pekerjaanmu, kepada cara kamu memilih rapat di atas makan malam. Tapi sekarang aku melihat: kita sama-sama belajar. Kita sama-sama pulang dengan cara masing-masing.”
Jayeng menatap garis laut. “Pulang itu kata kerja.”
“Dan juga kata benda,” timpal Kelaswara. “Kadang kita perlu duduk agar pulang datang.”
.
Telepon dari Rumah
Pagi Jakarta. Di apartemen, Jayeng mendapat telepon dari adiknya. Ayah mereka jatuh di masjid. Tidak parah. Hanya pusing, mungkin drop. Jayeng menunda rapat board, memesan ride, bergegas ke rumah. Di ruang tamu, ayahnya duduk dengan jaket tebal dan selimut yang tidak sepantasnya untuk suhu Jakarta.
“Jangan lihat aku seperti tamu VIP,” kata sang ayah. “Kopi pahit sama roti cukup.”
Di sela sarapan, ayah bercerita tentang jamaah baru yang berjualan sayur, tentang anak tetangga yang masuk sekolah negeri, tentang imam yang suaranya terlalu merdu untuk subuh. Hal-hal kecil yang membangun lumbung besar bernama hidup. Jayeng mendengarkan dengan sabar yang baru ia pelajari.
Sebelum pulang, ayahnya berujar, “Kalau kau capek menolong orang, tidur. Kalau kau capek menahan orang, lepaskan. Kalau kau capek menjadi orang yang diharapkan, jadilah orang yang nyata.”
Kalimat itu mengendap seperti seduhan yang tak tergesa.
.
Surat Tak Dikirim
Malamnya, Jayeng menulis surat untuk dirinya sendiri—dan sedikit untuk Kelaswara, sedikit untuk Maya, sedikit untuk orang-orang yang ia temui di lobi, lift, dan ruang rapat.
“Kepada diriku yang menginap di banyak lobi,
Ketahuilah: beberapa orang datang dengan cerita yang tidak perlu kau selesaikan.
Beberapa luka bukan untuk koleksi.
Doa yang paling jujur lahir dari hati yang pecah—dan itu cukup sebagai tiket bicara pada langit.
Kalau ringan, bagilah. Kalau berat, turunkan.
Jangan menabung lelah yang tidak menghasilkan damai.”
Ia tidak mengirimkan surat itu ke siapa pun. Ia meletakkannya di bawah alas mouse. Pagi-pagi, saat membuka laptop, ia ingin membacanya lagi, seperti turn down service untuk diri sendiri.
.
Hari Ketiga Puluh Dua
Seperti banyak hal di dunia modern, perubahan jarang berwajah megah. Biasanya seperti hari ke-32 setelah sakit ringan: tidak ada seremoni, tidak ada pita dipotong. Hanya bangun pagi tanpa alasan membenci cermin.
Jayeng mulai mengatur jam. Tidak semua rapat harus dia hadiri. Tidak semua komplain harus diselesaikan olehnya. Ia mengembalikan pertanyaan kepada tim, dan memberi mereka hak untuk gagal dua kali sebelum ia turun tangan. Ia mengantar ayahnya kontrol rutin. Ia mengirim voice note untuk Maya—mendoakan perjalanan Yogyakarta berjalan sesuai rencana. Ia menulis e-mail pada Kelaswara, mengirimkan foto beringin yang diambil diam-diam. Ia menunda kebiasaan menjadi bandara, memilih kembali menjadi simpul.
Di suatu siang, DM lain masuk. Bukan Santosa. Orang yang berbeda. Cerita yang lebih meyakinkan. Bukti yang lebih canggih. Jayeng menyimpan tangkap layar, menyerahkannya ke tim legal perusahaan yang punya kerja sama dengan otoritas terkait. Kebaikan tetap kebaikan. Tetapi hukum tetap hukum. Ia sekali lagi menulis:
“Empati yang benar tidak melarikan kita dari akal sehat; ia menuntun kita pulang.”
.
Tengah Malam, Dua Doa
Malam Jumat, hujan bertandang ke kaca. Jayeng mematikan lampu ruang tamu, menyisakan lampu tidur yang malu-malu. Ia teringat pada Kelaswara yang menulis program “Jokotole,” pada Maya yang sedang mengemas buku-buku ibunya di Yogyakarta, pada ayahnya yang mungkin sudah tertidur dengan radio kecil memutar kajian.
Ia berdoa:
“Kalau aku masih bisa menyala walau satu lilin, pakailah aku. Tapi ajari aku memagari angin agar nyalaku tak habis dipinjam semua orang.”
Di sudut lain kota, entah mengapa, di bawah garis langit yang sama, Kelaswara juga berdoa:
“Kalau aku punya kata yang tak melukai, izinkan kuletakkan di piring-piring pagi orang yang akan berangkat.”
Dan Maya, di kereta malam menuju Yogyakarta, menutup mata, berbisik:
“Kalau aku bisa memaafkan diriku yang lama, aku bisa memeluk diriku yang sekarang.”
Langit mendengar pelan. Hujan di Jakarta tetap jatuh tanpa aba-aba. Lampu-lampu kota masih seperti kalung mutiara yang kusut. Tapi ada simpul yang tak lagi memberatkan leher.
.
Nyala
Beberapa bulan kemudian, di town hall perusahaan, Jayeng berdiri di depan ratusan karyawan. Ia tidak menayangkan KPI di layar LED. Ia bercerita pendek:
“Kita hotel. Kita bukan Tuhan. Kita tidak bisa menyelamatkan semua orang, tapi kita bisa memuliakan setiap orang yang datang. Caranya? Benar pada yang kecil: menyapa dengan mata, mengembalikan KTP, tidak menggampangkan ‘nanti’. Di luar sana, dunia kadang mengaburkan; di sini, mari kita jelaskan.”
Tepuk tangan datang seperti amanat. Di ponselnya, setelah acara, masuk foto dari Kelaswara: selembar kain batik pesisir motif garam dan perahu, dengan catatan: “Untuk meja kerjamu. Agar setiap rapat punya laut.”
Ada juga kabar dari Maya: ibunya suka halaman belakang rumah yang baru ditanami pandan. Mereka menamai kucing tetangga yang sering mampir “Santosa”—agar setiap panggilan “Santosa!” yang keluar dari mulut mereka tidak lagi identik dengan waspada, melainkan tertawa.
Di malam yang lain, saat Jayeng pulang dan membuka pintu apartemen, ia mematikan alarm ponsel yang tak sengaja tersetel. Ia membuat teh. Ia menatap kota. Ia menyalakan lilin aromaterapi—bukan karena listrik padam, tapi karena nyala kecil di atas meja cukup sebagai reminder: dalam terang yang dirawat, tidak ada negeri orang.
Ada rumah. Ada pulang. Ada engkau yang menjaga.
Dan ada nyala yang tak padam.
.
.
.
Jember, 16 Juli 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #KotaDanNyala #EmpatiBerakalSehat #HospitalityLife #Jokotole #Sumenep #JakartaBali #CeritaPulang #SelfLeadership #NyalaYangTakPadam
.
Quotes untuk melengkapi cerita
-
“Kebaikan tanpa pagar adalah undangan bagi angin.”
-
“Jangan buru-buru menolong bebek hanyut; bisa jadi itu umpan.”
-
“Empati adalah jembatan, bukan lubang.”
-
“Doa dari hati yang hancur, terdengar lebih nyaring di langit daripada teriakan kemenangan.”
-
“Kebaikan tak pernah salah. Tapi bila salah alamat, ia bisa memadamkan cahaya dari dalam.”
-
“Empati butuh bukti, bukan sekadar bunyi.”
-
“Kalau ringan, bagilah. Kalau berat, turunkan.”
-
“Pulang bukan hanya alamat; ia adalah keputusan harian.”
.
.