Serasa: Antara Ketakutan dan Takdir

“Ketakutan dan takdir, sama-sama tak terlihat. Tapi di antara keduanya, hanya satu yang bisa kita pilih untuk dipercaya.” Serasa

 

Serasa duduk di balkon kamar hotel lantai 21. Jakarta tampak kecil dari atas sini, namun tidak dengan kegundahan di dadanya. Sebagai Public Relations Manager di hotel bintang lima ternama, wajahnya dikenal dalam banyak media. Tapi malam ini, tidak ada senyum PR yang bisa menyelamatkannya dari ketakutan paling sunyi—ketakutan yang bahkan tak bisa diungkapkan dalam press release mana pun.

Serasa dan Hidup dalam Sorotan

Nama lengkapnya Serasa Anggun Prameswari. Usianya 33 tahun, dan sepuluh tahun terakhir hidupnya dihabiskan di dunia hospitality. Kariernya melesat cepat. Bukan hanya karena kecantikannya yang klasik dan elegan, tapi karena kepandaiannya membaca situasi, merespons krisis, dan membangun relasi.

Semua mengenal Serasa sebagai perempuan tangguh. Ia tahu cara menyulap keluhan menjadi pujian. Ia tahu kapan harus bicara, dan kapan harus diam dengan anggun. Namun satu hal yang tidak diketahui siapa pun—Serasa hidup dalam ketakutan akan kehilangan. Takut bahwa semua ini hanyalah fase indah sebelum semuanya runtuh. Takut bahwa kerja kerasnya tidak cukup untuk mempertahankan reputasi. Dan yang paling ia takutkan: kehilangan dirinya sendiri dalam peran yang terus menuntut sempurna.

Surat Pengunduran Diri dan Surat Takdir

Satu pagi di bulan Maret, Serasa menerima dua surat. Satunya diketik dan ditandatangani olehnya sendiri: surat pengunduran diri yang sudah tertunda tiga kali. Satunya datang lewat amplop coklat dari HRD pusat, berisi promosi jabatan sebagai Direktur Komunikasi Regional Asia Tenggara—impian yang bahkan belum sempat ia ucapkan lantang.

Tangannya gemetar. Ia tidak menyangka, justru ketika ia memutuskan untuk menyerah, semesta seperti berkata: “Jangan.”

Namun, ketakutan datang membisik. “Kamu tidak cukup kuat. Kamu akan gagal. Kamu akan sendirian.”

Sementara takdir menjawab pelan, “Percayalah.”

Di Balik Wajah Publik

Serasa mengambil cuti tiga hari. Ia pergi ke Puncak—sendiri. Tanpa makeup, tanpa sepatu hak, tanpa blazer elegan. Hanya dirinya, segelas teh panas, dan halaman jurnal yang kosong.

Hari pertama, ia menulis satu kalimat:

“Ketakutan membuatku bertahan di tempat yang tidak lagi aku cintai, tapi takdir mengajakku pergi ke tempat yang belum aku kenal.”

Hari kedua, ia menangis sepanjang sore. Tidak karena sedih, tapi karena untuk pertama kalinya, ia jujur pada dirinya sendiri. Bahwa selama ini, ia bukan hanya bekerja. Ia menyembunyikan rasa takut. Ia mengumpulkan validasi dari likes dan publikasi, untuk menambal luka yang tak pernah ia obati.

Hari ketiga, ia berdiri di depan cermin dan berkata pelan, “Serasa, kamu bukan hanya PR hotel. Kamu perempuan yang hidup dan boleh memilih takdirmu sendiri.”

Melangkah dengan Takdir, Bukan Ketakutan

Kembali ke Jakarta, Serasa tidak langsung mengambil keputusan. Ia mengatur satu sesi konseling profesional. Ia bicara dengan seniornya. Ia membuka obrolan dengan ibunya yang sudah lama ia abaikan karena sibuk.

Dalam percakapan malam dengan sang ibu, Serasa mendengar kalimat yang menjadi titik baliknya.

“Nak, tak semua orang diberi pilihan. Kamu diberi pilihan karena Tuhan percaya kamu bisa memilih yang benar.”

Tangisnya pecah.

Serasa tidak ingin hidup dalam ketakutan lagi. Ia ingin hidup dengan percaya. Maka ia membakar surat pengunduran diri itu di teras apartemennya. Dan mengirim email persetujuan pada HRD.

“Kita tidak bisa mengendalikan semua yang terjadi, tapi kita bisa memilih siapa yang kita izinkan mengarahkan hidup kita—ketakutan atau takdir.”

Hari Terakhir Sebelum Promosi

Hari terakhirnya sebagai PR Manager, hotel mengadakan perpisahan kecil. Banyak yang mengira ia resign. Ia hanya tersenyum, tidak perlu menjelaskan.

Malam itu, ia berdiri sendiri di ballroom hotel. Ruangan yang biasa ia tata untuk konferensi pers dan acara korporat, kini terasa seperti sahabat lama yang mengantar ia pergi.

Ia menutup matanya. Lalu berbisik lirih:

“Terima kasih untuk semua ketakutan yang pernah aku rasakan. Tanpa itu, aku tidak akan mengenal kekuatan yang tersembunyi dalam diriku sendiri.”

Takdir Baru Bernama Serasa

Dua bulan kemudian, Serasa berada di Singapura. Ia memimpin tim komunikasi lintas negara. Lebih sibuk. Lebih menantang. Tapi juga lebih hidup.

Ia belajar bahwa takdir tidak datang sebagai panggilan tanpa risiko. Ia datang seperti jalan setapak yang harus dilalui dengan iman, bukan peta yang lengkap.

Setiap kali ketakutan mulai datang, ia membuka jurnal kecilnya dan membaca kalimat ini:

“Both Ketakutan dan Takdir sama-sama menuntut kita untuk percaya pada sesuatu yang tidak bisa kita lihat. Pilihlah yang membuatmu tumbuh, bukan yang membuatmu diam di tempat.”

Dan seperti itulah, Serasa—perempuan dengan nama selembut angin sore—menjalani hidupnya. Dalam ketenangan yang bukan tanpa ujian, tapi dengan keberanian untuk tetap percaya.

.

.

.

Jember, 18 Juni 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenEmosional #TakdirDanKetakutan #CeritaPRManager #CerpenKehidupan #HotelLife #EmotionalJourney

Leave a Reply