Rumahku Surgaku? Tapi Kenapa Justru Kamu yang Membuatku Luka di Dalamnya?
“Kita sering lupa, rumah bukan sekadar tempat tinggal… tapi tempat di mana jiwa kita pulang. Kalau rumah saja sudah tidak aman, ke mana lagi hati harus berteduh?”
Rumah Itu Masih Sama, Tapi Rasanya Tak Lagi Pulang
Bima pulang lebih cepat hari itu. Langit sore Jember berwarna kelabu, seperti suasana hatinya yang sedang murung. Begitu ia membuka pintu, aroma tumisan sayur dan bawang merah menyambutnya. Tapi tak ada pelukan. Tak ada senyum yang biasa ia rindukan.
Arimbi, istrinya, hanya berkata pelan tanpa menoleh, “Mas udah makan di luar?”
Bima mengangguk, lalu duduk di sofa tanpa banyak bicara. Ia membuka ponsel, scrolling tak tentu arah. Padahal tadi pagi, saat Arimbi menyetrika bajunya sambil menahan sakit kepala, ia hanya bilang satu kalimat: “Pakai ini aja, udah disetrika.” Tanpa menoleh, tanpa bertanya kabar.
“Yang membuat luka kadang bukan peristiwa besar, tapi sikap kecil yang diulang setiap hari.”
Kebaikanmu untuk Orang Lain, Kasarmu Hanya untukku?
Malam itu Arimbi memberanikan diri bicara. Ia duduk perlahan di sebelah Bima.
“Mas… boleh aku bicara sebentar?”
Bima tanpa mengangkat kepala: “Sebentar ya. Aku lagi baca laporan. Besok ada pitching tender.”
Arimbi menarik napas. Ini bukan pertama kalinya ia mendapat jawaban itu. Ia sudah hafal polanya: “sebentar,” yang entah kapan berakhir.
“Mas… terakhir kali kita ngobrol, bukan soal tagihan atau sekolah Dira, itu kapan ya?”
Bima diam. Ujung matanya masih di layar ponsel. Lalu menghela napas pendek, “Kenapa sih kamu selalu cari masalah?”
Arimbi berdiri. Matanya mulai basah.
“Aku cuma pengin didengar. Aku nggak marah. Aku cuma… lelah.”
Anak Itu Diam, Bukan Karena Tak Mau Bicara
Dira, anak mereka yang duduk di kelas empat SD, terlihat lebih banyak diam akhir-akhir ini. Ia sudah jarang menyapa ayahnya duluan. Lebih sering menatap layar tablet, atau mengurung diri di kamar.
Arimbi tahu, itu bukan karena ia malas bicara. Tapi karena… tak ada yang benar-benar mendengarkannya.
Suatu malam, Arimbi mendapati Dira menulis sesuatu di kertas kecil. Sebuah puisi sederhana:
“Kalau aku cerita, kamu dengar nggak? Atau malah main HP lagi? Atau jawab ‘nanti, nak’? Atau cuma angguk dan pergi?”
Arimbi memeluk Dira erat malam itu. Tapi di dalam hatinya, ia menangis lebih keras.
.
Ketika Diam Lebih Menyakitkan dari Bentakan
Bima merasa semua baik-baik saja. Rumah rapi, anak sehat, makan tersedia. Tapi satu malam, saat Arimbi lupa menyiapkan kopi, ia membentak:
“Ya ampun, Rim! Susah banget ya bikin kopi? Tiap pagi selalu lupa!”
Arimbi terdiam. Ia tak menjawab. Tapi air matanya mengalir perlahan, jatuh di gelas yang tak jadi disajikan.
Ia tidak marah karena dibentak. Ia terluka karena yang membentak adalah dirinya—yang tak pernah berhenti berusaha jadi istri terbaik, bahkan ketika ia lelah luar biasa.
“Yang kamu marahi itu bukan pembantu, Mas… tapi aku. Istrimu. Manusia juga.”
Rumah Tangga Bisa Mati Pelan-Pelan
Arimbi akhirnya curhat pada Ayu, sahabat lamanya. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil, jauh dari rumah.
“Yu… aku kayak bukan istri. Tapi pembantu, babysitter, tukang masak, penanggung jawab keuangan, guru les, semua jadi satu. Tapi nggak ada suami…”
Ayu menggenggam tangan Arimbi. “Rim, kamu harus bicara. Sebelum kamu benar-benar kehilangan dirimu.”
Titik Balik Dimulai dari Air Mata
Malam itu, Arimbi memberanikan diri menulis surat. Satu halaman, rapi, tanpa kemarahan. Hanya kalimat jujur dari seorang istri yang lelah menjadi kuat sendirian.
“Bima… aku nggak minta kemewahan. Aku hanya ingin didengar. Dihargai. Dipeluk. Diperlakukan seperti pasangan, bukan pelayan. Kalau rumah ini tak lagi hangat, bukan karena orang ketiga. Tapi karena kita lupa jadi orang pertama yang saling mencintai.”
Bima membaca surat itu diam-diam setelah menemukan di atas bantalnya. Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia menangis. Diam-diam. Lama.
Pelan Tapi Pasti, Mereka Belajar Kembali
Sejak malam itu, Bima mengubah satu hal penting: ia berhenti sibuk menjadi orang baik di luar rumah, tapi lupa jadi suami yang hangat di dalam rumah.
Ia mulai mematikan ponsel saat makan malam. Ia mendengarkan cerita Arimbi, meski tentang hal remeh. Ia mengajak Dira bermain sepeda di Minggu pagi. Dan ia mulai belajar mengucap kata sederhana: “Maaf… dan terima kasih.”
Arimbi melihat semua itu pelan-pelan. Tapi ia tidak buru-buru percaya. Karena luka lama tak bisa sembuh hanya dengan janji. Tapi Arimbi mau memberi kesempatan.
“Kadang kita nggak butuh janji besar. Cukup bukti kecil, tapi konsisten.”
.
Saat Rumah Kembali Menjadi Tempat Pulang
Tiga bulan kemudian, suasana rumah berubah. Bukan menjadi istana, tapi menjadi tempat yang benar-benar “rumah.”
Bima dan Arimbi kini punya waktu khusus: makan malam tanpa gadget, Minggu pagi ke pasar bareng, menonton kartun favorit Dira sambil nyemil tempe mendoan.
Bima tak lagi memaksakan ego. Ia mulai bertanya, “Hari ini kamu capek nggak?” dan Arimbi membalas dengan senyum yang mulai pulih.
Jangan Jadi Penjahat di Rumah Sendiri
Kita sering berusaha tampil sempurna di luar. Sopan ke rekan kerja, sabar ke pelanggan, ramah ke tetangga. Tapi di rumah sendiri? Justru kita kadang berubah menjadi sosok yang menyakitkan: dingin, keras, menuntut.
Cerita Bima dan Arimbi adalah potret kecil dari jutaan rumah tangga yang nyaris karam bukan karena badai besar, tapi karena kebiasaan buruk yang tak pernah diperbaiki.
“Peluklah sebelum semuanya terlambat. Ucapkan maaf sebelum luka membatu. Ucapkan terima kasih sebelum semua yang kamu anggap biasa… pergi.”
.
.
.
Jember, 28 Juni 2025