A Place I Call Home

Pelabuhan rasa rinduku

Sering kali dalam sehari-hari, saya mendapat pertanyaan dari orang-orang yang sempat berinteraksi dengan saya. Dari mulai rekan kerja, dalam acara resepsi dan akhir-akhir ini dari para pengemudi transportasi aplikasi online yang mendukung mobilitas kerja saya.

Bahasa tuturnya bahasa Indonesia kita ini sangatlah diplomatis dan sering berarti ganda. Bagaimana jawaban anda kalau mendapat pertanyaan “Bapak pulangnya kemana?”

Saya rasanya ingin menyanyikan lagu yang berjudul Indonesia Pusaka pada saat itu juga.

“Di sana….. tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda. Tempat berlindung di hari tua. Sampai akhir menutup mata”

Atau….. bahkan saya bisa saja mengakhiri dengan kata pamungkas “pulang ke alam baka”

Tetapi….. makna dari “Bapak pulangnya ke mana?” tersebut itu adalah sebagai pengganti kalimat…

“Bapak berkebangsaan apa?” bahasa Inggrisnya “Where do you come from originally?” atau “Bapak orang mana, Bapak aslinya mana?”

YES! …….. Karena saya ini lahir sebagai bule kawe, waktu saya kecil sebutannya indo atau blasteran.  Harus diakui, wajah saya ini makin tua semakin bule. Tapi perawakan SNI – Standard Nasional Indonesia tinggi cukup 170cm dengan berat ideal 75 kg. Cucok!

Lebih jauh lagi, ternyata bukan hanya saudara sebangsa se tanah air Indonesia saja yang mempertanyakan “pulangnya kemana”. Bahkan yang bule dan orang asing lainnya pun ketika saya jawab pertanyaan mereka dengan kalimat  “I am Indonesian!” mereka masih mengharapkan lanjutan dengan kata keterangan tempat sambil menyebut “but….???”

Ach sudahlah….. Pokok e Saya Indonesia Saya Pancasila. Lahir dan besar di Kotamadya Malang, Jawa Timur. Aksen bicara verbal saya adalah medok Jowo. Hahahah…. Londo kok medok. Tetapi….. again….. ketika saya berbahasa Jawa kepada teman-teman saya, mereka menyarankan saya berbahasa Indonesia saja atau sekalian bahasa Inggris. Karena???

Karena kuping mereka terganggu…!!! Bahasa Jawa saya disebut “wagu” atau kagok atau janggal. #haddddeeeehhhhh

Lalu…. kalau masuk ke pertanyaan filosofis romantis “a place I call home” itu sejatinya opo?

Dimana saya harus melabuhkan rasa rinduku? Suatu tempat yang nyaman untuk saya pulang dan berbagi segala rasa. Tempat beristirahat, tempat berkarya, tempat bercerita, tempat bercengkerama, tempat sharing, dan banyak kebersamaan lainnya.

Loh… jadi “a place I call home” ini adalah manusia toh?

Hahahahahaha…… yo ora! Kalau saya, rumah itu kan kata benda. Maka untuk menjadi yang disebut “a place I call home” ya harus komplit dengan ada kehidupannya. Kalau ndak kan yo suwung, kosong, hampa, hambar. Kalau ndak komplit kan ya bikin ndak pengen pulang. Ndak pengen tinggal di rumah. Mabur muluk terus kemana-mana. Sehingga jangan-jangan…….. teman-teman saya, bahkan saya sendiri yang sering ngakunya workoholic itu, ternyata rumahnya suwung. Hati masih dalam proses mencari pelabuhan untuk menambatkan sauh emosi dan jiwa raga.

Balik lagi ke “a place I call home” ini….

Buat saya ini suatu proses pencarian jati diri. Kerja keras mulai dari mengerti artinya harus mandiri membiayai hidup sendiri. Tinggal berpindah-pindah dari kamar kost satu ke kamar kost lain, dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain, bahkan pindah dari kota satu ke kota lain.

Saya hidup untuk menghidupi orang lain. Profesi kerja saya sebagai seorang salesman harus menghasilkan uang untuk perusahaan. Dan penghasilan perusahaan ini untuk kesejahteraan rekan-rekan kerja dan saya juga termasuk pastinya.

Kehidupan yang penuh kompetisi untuk memenuhi kebahagiaan sejenak yaitu mengumpulkan materi.  Lalu kalau sudah terkumpul apakah saya berhenti dari semua keduniawian tersebut? Ternyata tidak, masih terlintas dalam pikiran, kok rekan kerja saya dulu dan teman-teman saya bisa punya ini-itu yang jauh melebihi saya ya?!

Artinya saya masih normal, masih manusia dengan segala nafsu duniawinya. Rapopo….. tapi ndak boleh kemrungsung. Harus tetap beretika dan menjalankan etiket.

Ayo sekarang kita masuk lagi ke istilah Jawa yang merupakan bagian dari ajaran budi pekerti dan tata krama di keluarga saya. Ada kalimat yang mengatakan: “Urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang”. Terjemahannya “Hidup itu hanya tentang melihat dan dilihat, jadi jangan hanya melihat dari apa yang terlihat”.

Jangan mudah menyimpulkan dari apa yang terlihat oleh mata. Namun lihatlah juga dari apa yang tak terlihat melalui mata hati. Sering hidup orang lain belum sebaik hidup kita.

Lalu…. Mari sekarang kita pulang. Anda sudah punya “a place I call home” kan?

.

.

#sawangsinawang

#indahnyaberbagi

#bersamaitucolourful

.

 

Bali 19 Agustus 2019

Jeffrey Wibisono V. @namakubrandku

Hospitality Consultant Indonesia in Bali – Telu Learning Consulting – Commercial Writer Copywriter – Jasa Konsultan Hotel

Leave a Reply