Saya (Bukan) Enterpreneur

BEBERAPA teman sempat bertanya, “Jeff, mengapa kamu tidak membuat management hotel sendiri?” Atau ajakan, “Ayo Jeff, saya gabung denganmu saja ya , bikin management hotel sendiri!”

 

Ya, teman-teman saya begitu percaya diri setelah  melihat beberapa sukses stories di dalam karir saya dengan networking yang mendunia. Bungkusan saya bersinar berpendar di mata mereka. Saya sempat gamang, berpikir. Iya ya, kenapa tidak membuat management hotel sendiri saja? Tetapi, ketika saya instrospeksi diri, saya meragu.

 

Saya sering menjawab enteng, “Saya masih lebih senang menggunakan uang orang lain daripada uang saya sendiri.”

 

Saya sadar, saya tidak mempunyai modal nekat. Mengelola uang sendiri untuk modal bisnis, terlalu berisiko. Total tabungan yang saya punya untuk biaya hidup sehari-hari saja—kalau tidak berpenghasilan tetap—ya akan habis dalam sekejap.

 

Saya pernah kena apes soal mau berbisnis sendiri. Uang saya habis untuk nombok penipuan di bisnis tiket pesawat. Celakanya, yang melakukan transaksi dengan menerima cek kosong adalah staff ticketing kepercayaan pemilik travel agent di mana saya bergabung merevitalisasi usaha dengan berinvestasi. Hobi saya bergaul dan traveling. Ketika memulai berbisnis di travel agent atas ajakan “sahabat”, yang terjadi kemudian ternyata senang saja tidak cukup sebagai alasan memulai bisnis dari hobi.  Sejak saat itu saya sangat berhati-hati jika ada yang mengajak untuk berbisnis.

 

Sepanjang karir profesional saya, bekerja di beberapa hotel saya mampu bersaing dan bertahan. Secara terus-menerus saya mengasah kemampuan. Untuk terus up date, kekinian, saya rela mengorbankan waktu dan uang untuk bergaul networking. Saya dengan uang pribadi hadir di beberapa seminar dan training, juga langganan majalah dan buletin yang berhubungan dengan hal yang saya pelajari. Seperti tentang sumber daya manusia, sales & marketing.

 

Beli buku juga bagian dari hobi saya. Di waktu masih Sekolah Dasar, buku cerita saya sudah bisa untuk membuka perpustakaan bacaan anak-anak. Saya menyukai cerita rakyat, folklore dan dongeng sedunia. Saya menyukai cerita sejarah dan tentang bangsa-bangsa. Lalu apakah saya harus mengelola perpustakaan saja sebagai bisnis? Sepertinya saya tidak memiliki  passion untuk itu.

 

Saya merasa ada sedikit pressure ketika hobi bergaul dan traveling saya jadikan sumber perhasilan. Sangat berbeda efeknya ketika saya bergaul dan traveling tanpa embel-embel harus menghasilkan. Yang ada malah let’s spend, ya mari berbelanja.

 

Yes, saya gagal memberikan komitmen dalam permodalan ketika dituntut konsisten mengembangkan bisnis sendiri. Kedodoran, habis modal di tengah jalan.

Modal saya yang kuat di sales & marketing, management, bahasa Inggris dan teknologi ternyata kalah. Harus takluk oleh penyalahgunaan wewenang dan kepercayaan. Penyelewengan yang dilakukan  oleh staff level bawah, frontliner yang rutin deal langsung dengan customer.

 

Factor X dari soft skill. Apes!

 

Di dalam berbisnis, saya banyak melihat ada faktor X yang tidak bisa diprediksi. Yaitu keberuntungan. Faktor keberuntungan ini bisa mengubah semua keadaan. Walau saya sendiri lebih percaya keberuntungan itu ada, karena secara rutin seseorang sudah menabung upaya. Bukan usaha sehari langsung sukses. Tetapi sudah diawali dengan usaha yang tekun, telaten dan sabar. Ketika momennya tepat, muncul seolah menjadi rezeki nomplok.

 

Opini saya adalah kalau mulai menjalankan bisnis harus fokus, tidak mendua dan dari dalam hati. Mengandalkan saudara atau teman dekat untuk mengelola hanya akan memperlambat pengembangan usaha. Atau malah bikin bangkrut.

 

Contohnya kalau saya ke restoran teman, saya akan mencari teman pemilik restoran itu—yang meminta untuk datang. Ketika saya datang dan teman saya tidak ada, saya merasa suasana restorannya hambar. Hasilnya? “Aku takkan kembali

 

Pada saatnya saya akan siap. Tetapi sudah  bisa saya pastikan, bahwa saya tidak mampu dan tidak mau mempertaruhkan reputasi saya untuk membangun bisnis management hotel mengelola hotel, villa, resort orang lain.

 

Tapi untuk masa tua, saya masih menyimpan satu cita-cita. Cita-cita saya itu adalah membangun Eldery Home ekslusif—dengan pemikiran saya akan menua dan hidup sendiri dan akan tinggal di rumah jompo. Saya berusaha mengumpulkan modal untuk membangun rumah jompo mewah. Rumah jompo di mana saya akan tinggal dan juga menyiapkan beberapa unit tambahan untuk disewakan. Jadi saya tidak kesepian.

 

Saya berharap masih kuat bisa berbisnis online, dan yang tinggal di rumah jompo mewah milik saya pun bisa tetap beraktivitas. Semacam resort kecil yang akan saya bangun di area bertemperatur nyaman, dekat dengan pusat keramain untuk rekreasi, berbelanja dan klinik kesehatan.

 

Kali ini peluang usaha yang saya perhitungkan tidak mustahil adalah hobi internetan saya dan bisa menjadi sumber penghasilan di masa tua. Kendala terbesar saat ini, pastilah permodalan. Saya takut berutang. Saya selalu berpikir kalau besok saya mati, siapa yang akan menanggung utangnya?

 

Inilah saya, yang  masih setia bekerja di perusahaan orang lain dengan penghasilan yang sebagian untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan saya, sebagian lagi ditabung untuk hari tua; untuk membangun rumah jompo ekslusif bila memang sesuai rencana.

 

 

Dari kumpulan (unpublished) Hotelier Stories Catatan Edan

Jeffrey Wibisono V. @namakubrandku

Hospitality Consultant Indonesia in Bali – Telu Learning Consulting – Commercial Writer Copywriter – Jasa Konsultan Hotel

Leave a Reply